Suara.com - Pada 17 Agustus 2025, Indonesia genap merayakan 80 tahun kemerdekaan, sebuah momentum agung bagi negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi.
NAMUN bagi Adhyasta Dirgantara, seorang jurnalis media online nasional, kemerdekaan itu terasa hambar dan penuh paradoks.
Pers, yang semestinya menjadi pilar keempat demokrasi, ternyata belum sepenuhnya merdeka seperti yang terlihat di permukaan.
Pengalaman pahit pada 27 Februari 2025 menjadi cermin buram dari realitas tersebut.
Kala itu, Adhyasta bertugas meliput acara yang dihadiri Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto di Markas Besar Polri, Jakarta.
Seusai acara, dalam sesi wawancara yang lazim dilakukan, Adhyasta melontarkan pertanyaan mengenai kasus penyerangan Mapolres Tarakan oleh oknum tentara.
Panglima TNI menanggapi pertanyaan itu. Namun, beberapa saat setelah Agus meninggalkan lokasi, dua pria berseragam TNI menghampiri Adhyasta.
Mereka tidak datang untuk beramah-tamah, melainkan mempertanyakan pertanyaan kritis yang baru saja ia ajukan.
"Kau memang tidak di-briefing?," ujar salah satu dari kedua pria.
Baca Juga: Refleksi Kemerdekaan Megawati: Bukan Hadiah, Tapi Hasil Cucuran Darah dan Air Mata
"Di-briefing apa ya? Saya baru datang," jawab Adhyasta bingung.
Belum sempat kebingungannya terjawab, ancaman verbal yang menusuk terlontar dari pria lainnya.
"Kutandai muka kau, kusikat kau ya!"
"Lah kan saya nanya doang ke Panglima TNI, beliau juga berkenan menjawab," tegas Adhyasta, berusaha mempertahankan haknya untuk bertanya.
Insiden ini, bagi Adhyasta, adalah bukti nyata bahwa kemerdekaan pers masih sebatas angan.

Intimidasi tersebut bukan sekadar gertakan, melainkan ancaman serius bagi keselamatannya dan serangan langsung terhadap kebebasan pers.
"Saya enggak bawa-bawa senjata, saya enggak mencelakai orang. Hanya bertanya, mencari informasi untuk memberikannya kepada masyarakat," ujar Dyas saat dihubungi Suara.com.
Ruang Aman yang Dirindukan Jurnalis Perempuan
Ironi kemerdekaan juga dirasakan mendalam oleh Dian, seorang jurnalis perempuan yang mendambakan ruang kerja yang aman.
Sebuah peristiwa pelecehan seksual pada 14 Februari 2023 masih membekas lekat dalam ingatannya.
Saat itu, ia sedang meliput agenda Partai Ummat di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Saat berada di tengah kerumunan yang berdesakan untuk mewawancarai Anies Baswedan, sebuah tangan sengaja menyentuh dan mencubit bagian belakang tubuhnya.
Dian terkejut dan refleks berbalik, namun situasi yang ricuh membuatnya tak bisa mengidentifikasi pelaku.
Namun yang lebih mengecewakan adalah respons dari pihak Partai Ummat.
Meski sempat meminta maaf, belakangan muncul pernyataan yang seolah memojokkan dan menantangnya.
Ini bukan kali pertama. Dian juga pernah mengalami pelecehan verbal dari sesama jurnalis pria.
Ia tak tinggal diam dan melaporkannya, yang berujung pada pemecatan pelaku.
Dua kejadian ini menggarisbawahi betapa ruang aman bagi jurnalis perempuan masih jauh dari kenyataan.
Ironisnya, pelaku terkadang berasal dari lingkungan profesi yang sama, yang seharusnya memiliki sensitivitas lebih tinggi.
"Mungkin banyak juga jurnalis perempuan yang mengalami hal yang sama dengan saya. Tapi mungkin banyak tidak berani bersuara, karena masih ada stigma, dan kekhawatiran lainnya," ujar Dian.
Kekhawatiran Dian diperkuat oleh data. Survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada September-Oktober 2022 menemukan fakta mengejutkan.
Dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi, sebanyak 82,6 persen mengaku pernah mengalami kekerasan seksual, baik fisik, verbal, saat peliputan, maupun di ranah digital.
Serangan yang Terus Berulang
Kisah Adhyasta dan Dian hanyalah puncak gunung es dari potret buram kebebasan pers di Indonesia.
Serangkaian kasus kekerasan terus berulang, seolah ada pembiaran dan impunitas bagi para pelaku.
Teror kepala babi yang ditujukan kepada jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana pada 19 Maret 2025, hingga kini belum terungkap pelakunya.
Anehnya, barang bukti baru disita polisi pada 25 Juli 2025, berbulan-bulan setelah kejadian.
Sikap Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi yang awalnya menyuruh kepala babi itu dimasak, semakin menambah keprihatinan, meski kemudian diralat.
Sementara di Papua, kantor surat kabar Jubi di Jayapura dilempar bom molotov pada 16 Oktober 2024.
![Ilustrasi serangan bom molotov di kantor redaksi Jubi di Jayapura, Papua. [Suara.com/Iqbal]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/11/06/98749-ilustrasi-serangan-bom-molotov-di-kantor-redaksi-jubi.jpg)
Ini merupakan teror kedua setelah jurnalis seniornya, Victor Mambor, mengalami serangan serupa pada Januari 2023.
Kedua kasus ini mandek tanpa kejelasan.
Ancaman bahkan merenggut nyawa. Rico Sempurna Pasaribu, jurnalis Tribrata TV, tewas terpanggang bersama keluarganya di Karo, Sumatera Utara, pada 27 Juni 2024, setelah rumahnya sengaja dibakar.
Peristiwa tragis ini terjadi hanya beberapa hari setelah ia menerbitkan berita berjudul, 'Lokasi Perjudian di Jalan Kapten Bom Ginting Ternyata Milik Oknum TNI Berpangkat Koptu Anggota Batalyon 125 Sim'bisa.'
Kasus pembunuhan kembali terjadi pada Maret 2025. Korbannya adalah Juwita, jurnalis perempuan dari Newsway.co.id, yang dibunuh oleh seorang prajurit TNI AL.
Tak hanya serangan fisik, ranah digital juga menjadi medan pertempuran.
Suara.com mengalami serangan siber masif pada 15 April 2025, dengan 285 juta serangan DDoS dalam waktu singkat.
AJI Indonesia mencatat, sepanjang tahun 2024 saja terjadi 79 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Angka ini terus bertambah, hingga Mei 2025 sudah tercatat 38 kasus kekerasan.
Demokrasi Palsu dan Ingatan pada Habibie
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Bayu Wardhana, menilai berulangnya kekerasan ini adalah tanda pers belum merdeka.
Impunitas bagi pelaku mengirimkan pesan ketakutan yang jelas kepada para jurnalis, membuat mereka ragu memberitakan isu-isu sensitif.
"Artinya kita berada dalam demokrasi yang palsu. Karena jurnalis bekerja dalam ketakutan. Ada banyak fakta yang tidak bisa diangkat," kata Bayu.
Upaya membungkam pers, menurutnya, berdampak langsung pada hak publik atas informasi.
Ia teringat pesan Presiden ke-3 BJ Habibie saat melahirkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Ini anak buah saya, ini asal bapak senang semua. Saya tidak dapat informasi yang benar di lapangan. Ya, sudah saya beri ruang untuk pers untuk melaporkan apa adanya," kata Bayu mengulang perkataan Habibie.
Bagi Bayu, kemerdekaan pers sejati baru tercapai ketika tidak ada lagi jurnalis yang takut memberitakan kebenaran dan tak ada lagi impunitas bagi penyerang jurnalis.
Penegakan hukum adalah kuncinya.
"Harapannya negara hadir untuk melindungi. Melindungi kebebasan pers tugasnya insan pers, bukan tugasnya perusahaan pers. tapi tugas negara," ujarnya.
Di tengah perayaan 80 tahun kemerdekaan, Adhyasta hanya berharap makna kemerdekaan bisa benar-benar meresap ke dalam ruang redaksi di seluruh Indonesia.
"Karena dengan kasus yang saya alami dan juga rekan jurnalis lainnya, menunjukkan bahwa pers itu belum sepenuhnya merdeka. Kami ingin bekerja dengan tenang, tanpa ketakutan. Pekerjaan yang kami jalani adalah amanat undang-undang untuk kepentingan orang banyak," ujar Adhyasta.
Sementara bagi Dian, kemerdekaan pers memiliki makna yang lebih personal dan mendasar, yakni terciptanya ruang yang aman bagi jurnalis perempuan untuk berkarya.
"Merdeka menjadi seorang jurnalis ketika terbebas dari segala ketakutan. Merdeka ketika bekerja dalam ruang yang aman, menghormati dan menghargai perempuan," ujarnya.
Artikel ini khusus dibuat Redaksi Suara.com dalam rangka perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.