Usai Dicekal, Gus Yaqut akan Dipanggil KPK Lagi Terkait Skandal Kuota Haji

Selasa, 19 Agustus 2025 | 19:23 WIB
Usai Dicekal, Gus Yaqut akan Dipanggil KPK Lagi Terkait Skandal Kuota Haji
Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (tengah) usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, beberapa waktu lalu. Lembaga antirasuah itu akan segera memanggil kembali Gus Yaqut dalam waktu dekat. [Suara.com/Alfian Winanto]

Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan segera memanggil pihak-pihak terkait dalam penyidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji 2023-2024.

Termasuk mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang akrab disapa Gus Yaqut.

Langkah ini menyusul eskalasi kasus dan sejumlah tindakan hukum signifikan yang telah dilakukan lembaga antirasuah.

“Tentu penyidik akan segera menjadwalkan pemeriksaan kepada para saksi dan pihak-pihak lain yang dibutuhkan keterangannya, agar proses penegakan hukum juga bisa dilakukan secara efektif,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Selasa (19/8/2025).

Kebutuhan klarifikasi ini, menurut Budi, menjadi semakin mendesak pasca-penggeledahan yang telah dilakukan, termasuk di kediaman Gus Yaqut di Condet, Jakarta Timur, di mana penyidik mengamankan sejumlah barang bukti elektronik.

Dicegah ke Luar Negeri

Untuk memastikan proses penyidikan berjalan lancar, KPK telah mengambil langkah tegas dengan melarang Gus Yaqut dan dua orang lainnya bepergian ke luar negeri.

"Bahwa pada tanggal 11 Agustus 2025, KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang larangan bepergian ke luar negeri terhadap tiga orang yaitu YCQ, IAA, dan FHM,” ungkap Budi Prasetyo pada kesempatan sebelumnya, Selasa (12/8/2025).

Selain Gus Yaqut (YCQ), larangan juga berlaku bagi mantan Staf Khusus Menteri Agama Ishfah Abidal Aziz (IAA) dan seorang pihak swasta berinisial FHM.

Baca Juga: Operasi Perburuan Barang Bukti Korupsi Kuota Haji: Seminggu KPK 'Obrak-abrik' Beberapa Tempat

Pencegahan ini berlaku selama enam bulan ke depan.

"Keberadaan yang bersangkutan di wilayah Indonesia dibutuhkan dalam rangka proses penyidikan," ujar Budi.

Pelanggaran Aturan Kuota 92/8

Dugaan korupsi ini berpusat pada pengelolaan kuota haji tambahan sebanyak 20.000 jemaah yang diberikan oleh Arab Saudi untuk tahun 2024.

Menurut KPK, distribusi kuota ini menyalahi aturan perundang-undangan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, pembagian kuota haji seharusnya 92% untuk jemaah reguler dan 8 persen untuk jemaah khusus (ONH Plus).

Dengan tambahan 20.000, seharusnya 18.400 dialokasikan untuk jemaah reguler dan 1.600 untuk jemaah khusus.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menanggapi pemberian amnesti Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo dan perburuan Harun Masiku di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (1/8/2025). [Suara.com/Yaumal]
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengungkap bahwa lembaga antirasuah tersebut akan memanggil kembali mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dalam kasus korupsi kuota haji. [Suara.com/Yaumal]

“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua. 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ungkap Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu.

“Jadi kan berbeda dong, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Nah seperti itu, itu menyalahi aturan yang ada.”

Potensi Kerugian Rp 1 Triliun

Pelanggaran alokasi kuota inilah yang diduga menciptakan celah korupsi dan menyebabkan kerugian keuangan negara dalam jumlah masif.

“Dalam perkara ini, hitungan awal, dugaan kerugian negaranya lebih dari Rp 1 triliun," kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung KPK, Senin (11/8/2025).

Angka tersebut merupakan hasil perhitungan internal KPK yang telah didiskusikan bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Tentu nanti BPK akan menghitung secara lebih detil lagi," ujar Budi.

Kasus ini sendiri telah dinaikkan ke tahap penyidikan pada 9 Agustus 2025, setelah KPK memeriksa Gus Yaqut dalam tahap penyelidikan dan menemukan adanya peristiwa pidana yang diduga melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI