Suara.com - Jauh sebelum menjadi salah satu kritikus vokal, ada masa ketika akademisi dan pakar strategi militer, Prof. Connie Rahakundini Bakrie, menaruh kekaguman mendalam pada sosok Joko Widodo.
Bukan sekadar dukungan politik biasa, melainkan sebuah keyakinan yang ia sebut sebagai "cinta mati," lahir dari sebuah gagasan besar yang dianggapnya mampu membangkitkan kembali ruh kebangsaan.
Dalam sebuah perbincangan santai dengan pakar komunikasi Hendri Satrio, Connie membuka kembali memori tentang euforia di awal kemunculan Jokowi di panggung nasional.
Baginya, Jokowi saat itu adalah anomali yang menjanjikan.
“Sebenarnya momentum Jokowi jadi presiden itu kenapa aku dukung awalnya, karena menurut gue ‘ini presiden keren banget loh’,” aku Connie, dikutip dari YouTube Hendri Satrio, Sabtu (23/8/25).
Kekaguman itu tidak lahir dari ruang hampa. Sumber utamanya adalah sebuah visi geopolitik yang telah lama hilang dari narasi kepemimpinan nasional sejak era Soekarno: gagasan tentang Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Visi inilah yang menjadi magnet terkuat yang menarik Connie ke dalam barisan pendukungnya.
“Dia (Jokowi) mikirin negara ini poros maritim dunia,” ucapnya.
Bagi seorang pakar pertahanan maritim, gagasan tersebut lebih dari sekadar slogan kampanye; itu adalah sebuah kebangkitan ideologis.
Baca Juga: Prabowo Beri Hormat kepada Guru Sekolah Rakyat, 'Saya Bangga dengan Kalian Semua!'
Connie melihat ada kesinambungan gagasan antara Jokowi dengan sang proklamator, Bung Karno, yang membuatnya menaruh harapan begitu tinggi.
“Bung Karno mikir kita poros dirgantara, poros maritim, tapi habis Bung Karno kan enggak ada, datanglah Jokowi. Makanya gue 2013 itu cinta mati,” aku Connie.
Kekaguman pada gagasan besar itu diperkuat oleh kesan personal.
Connie mengenang Jokowi sebagai figur yang rendah hati dan sopan, sebuah karakter yang membuatnya semakin yakin pada pilihannya.
“Jadi gue dulu itu kagum banget sama orang ini (Jokowi) kan. Dulu sopan banget kan saat Ngomong pertama kali itu ‘Bu Koni sudah betul saya ngomongnya’, karena orangnya kan rendah hati,” urainya.
Namun, narasi kekaguman itu kini telah sampai pada babak akhirnya.
Rasa bangga yang pernah membuncah itu, menurut pengakuannya, telah sirna, berganti menjadi sebuah kekecewaan yang sama dalamnya.
Perubahan karakter yang ia rasakan menjadi salah satu pemicunya.
“Sekarang tidak lagi, haha,” tambahnya singkat.
Transformasi perasaan dari cinta menjadi benci ini ia gambarkan sebagai sebuah konsekuensi logis dari ekspektasi yang pernah begitu tinggi.
“Jadi sekarang kalau gue benci mati lu jangan heran.
Biasanya orang bisa benci mati itu karena kan pernah cinta mati,” imbuhnya.
Kini, sisa-sisa kekecewaan itu seolah ia proyeksikan sebagai harapan dan nasihat bagi presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Ia berharap kepemimpinan baru dapat belajar dari masa lalu dan berani melepaskan beban yang dapat menghalangi terwujudnya kedaulatan bangsa.
“Harapan buat Pak Prabowo, Pak Prabowo itu punya kesempatan emas untuk membuktikan Indonesia itu menjadi negara yang betul–betul berdaulat dan Merdeka,” ucap Connie.
“Tapi tolong tinggalkan apapun beban termasuk orang terdekat atau teman kerjaan terdekat, yang mungkin akan membebankan, itu aja,” sambungnya.
Kontributor : Kanita