Suara.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meluncurkan kebijakan insentif fiskal yang signifikan bagi sektor perhotelan, restoran, dan usaha makanan-minuman.
Kebijakan ini diambil di tengah kondisi industri yang sedang tertekan oleh penurunan tingkat hunian, lonjakan biaya operasional, dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan bahwa pemberian keringanan pajak ini bukanlah sekadar respons atas keluhan pengusaha, melainkan sebuah intervensi strategis untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi ibu kota.
"Ini bukan karena keluhan, tapi memang pemerintah daerah harus melakukan intervensi supaya pertumbuhan ekonomi tetap terjaga," kata Pramono di Balai Kota, Senin (25/8/2025).
Ia menambahkan, kebijakan ini krusial untuk mempertahankan kinerja ekonomi Jakarta yang secara historis tumbuh lebih cepat dibandingkan rata-rata nasional.
"Jakarta pertumbuhan ekonominya selalu di atas nasional, jadi supaya ini bisa terjaga maka salah satunya diberikan keringanan pajak ini," ujar Pramono.
Pramono menekankan bahwa Pemprov DKI tidak ingin membebani pelaku usaha dengan pungutan pajak yang berlebihan di tengah tantangan ekonomi saat ini.
"Sehingga apapun kami melihat harus ada, bukan cukup, tapi ini kan tidak baik juga kalau kemudian Jakarta mungut pajaknya lebih gede," tuturnya.
Skema Keringanan Pajak Berdasarkan Kepgub 722/2025
Baca Juga: Jakarta Membara! Pos Polisi Slipi Dibakar Massa, Gubernur Pramono Malah Santai: Aman-aman Saja
Keringanan pajak ini diatur secara resmi dalam Keputusan Gubernur Nomor 722 Tahun 2025 dan berlaku efektif mulai Agustus hingga Desember 2025.
Rinciannya adalah sebagai berikut:
- Jasa Perhotelan: Diskon pajak sebesar 50 persen berlaku dari Agustus hingga September 2025.
- Jasa Perhotelan: Diskon pajak sebesar 20 persen berlaku dari Oktober hingga Desember 2025.
- Makanan dan Minuman: Diskon pajak sebesar 20 persen berlaku dari Agustus hingga Desember 2025.
"Keputusan Gubernur ini memutuskan, yang pertama untuk pajak barang dan jasa tertentu atas jasa perhotelan sebesar 50 persen lebih murah dari yang harus dibayar. Jadi misalnya kalau bayarnya 10 maka ya separuh untuk itu yang dibayarkan ke pajak Provinsi DKI Jakarta sampai dengan bulan September," jelasnya.
Setelah periode tersebut berakhir, potongan pajak berlanjut namun dengan besaran yang lebih kecil.
"Untuk pajak hotel itu diberikan potongan 20 persen dari pajak yang seharusnya dibayarkan untuk bulan Oktober, November, dan Desember," lanjutnya.
Tak hanya sektor hotel, keringanan pajak juga menyasar industri makanan dan minuman.
"Juga untuk makanan dan minuman, bukan hanya jasa perhotelan saja tetapi juga untuk makanan dan minuman 20 persen sampai dengan Desember 2025." ucap Pramono.
"Wajib pajak dapat menyampaikan surat pernyataan bersedia melakukan pelaporan data transaksinya usaha secara elektronik dengan menggunakan sistem e-TRAP yang selama ini kita gunakan," katanya.
Kondisi Darurat Industri Perhotelan
Kebijakan tersebut dinilai hadir di saat kondisi yang genting.
Sebelumnya, data survei Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPD PHRI DK Jakarta) pada April 2025 menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan.
Sebanyak 96,7 persen hotel melaporkan penurunan okupansi selama triwulan pertama tahun 2025.
Ketua BPD PHRI DK Jakarta, Sutrisno Iwantono, mengungkapkan tekanan terjadi dari berbagai sisi, tidak hanya pendapatan yang anjlok, tetapi juga beban biaya yang meningkat drastis.
"Ketidakseimbangan struktur pasar menunjukkan perlunya pembenahan strategi promosi dan kebijakan pariwisata yang lebih efektif untuk menjangkau pasar internasional," kata Sutrisno.
Situasi diperparah oleh membengkaknya biaya operasional, seperti kenaikan tarif air PDAM hingga 71 persen, harga gas yang naik 20 persen, dan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 9 persen.
Kondisi ini memaksa banyak hotel melakukan efisiensi ketat, termasuk pengurangan karyawan.
Bahkan, survei PHRI mencatat bahwa 70 persen responden siap melakukan PHK antara 10 hingga 30 persen jika tidak ada intervensi kebijakan yang konkret dari pemerintah.
Selain itu, pelaku industri juga mengeluhkan kompleksitas regulasi dan sertifikasi.
Proses birokrasi yang panjang, perizinan berlapis, dan biaya yang tidak transparan dinilai menyulitkan pengusaha, mulai dari izin lingkungan hingga sertifikat laik fungsi dan izin minuman beralkohol.