Suara.com - Sejumlah massa berdatangan di dekat silang Monas, Jakarta pada Kamis (28/8/2025). Bukan untuk parade biasa, melainkan untuk sebuah "Pawai Keadilan Iklim".
Digagas oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), aksi kolosal ini menjadi klimaks dari "Climate Justice Summit: Temu Rakyat untuk Keadilan Iklim" yang telah berhasil menyatukan suara masyarakat dari lebih dari 15 provinsi di seluruh Indonesia!
Renaldo G Sembiring, juru bicara ARUKI, dengan tegas menyatakan bahwa pawai ini jauh melampaui unjuk rasa konvensional.
Ini adalah manifestasi nyata dari kegelisahan mendalam masyarakat yang tak lagi bisa berpaling dari ancaman krisis iklim yang semakin mencekik.
"Krisis iklim ini kita lihat sebenarnya bukan masalah lingkungan saja, tapi adalah krisis kemanusiaan," tegas Renaldo, suaranya menggema di tengah kerumunan.
ARUKI secara gamblang menyoroti fakta pahit: dampak paling brutal dari krisis iklim justru menghantam delapan kelompok masyarakat yang paling rentan.
Siapa saja mereka? Perempuan, masyarakat adat, buruh dan pekerja informal, masyarakat miskin kota, nelayan, petani, orang muda, dan lansia. Mereka adalah garda depan yang merasakan langsung pahitnya perubahan iklim.
"Kedelapan subjek ini kita perjuangkan hak-haknya akan dipenuhi oleh negara," lantang Renaldo, menyerukan tanggung jawab pemerintah.
Melalui Temu Rakyat yang intens, ARUKI telah merumuskan berbagai masalah spesifik yang tak terbayangkan yang dialami oleh setiap kelompok akibat perubahan iklim.
Baca Juga: Krisis Pendidikan Suriah: Setengah Anak Usia Sekolah Terlantar Akibat Perang
Bayangkan saja, mulai dari petani yang meraung karena gagal panen berkepanjangan, nelayan yang kehilangan satu-satunya mata pencarian, hingga dampak kesehatan mengerikan yang mengintai lansia dan masyarakat miskin kota.
Reporter: Maylaffayza Adinda Hollaoena