- Usulan 1 orang 1 akun medsos yang awalnya digaungkan anggota DPR kini tengah dikaji oleh Komdigi.
- Tujuannya untuk meminimalisir hoax, misinformasi, penipuan hingga judol.
- Namun gelombang protes mulai bersuara, khususnya dari gen Z dan pemilik second account.
Suara.com - Usulan 1 orang 1 akun medsos mengemuka dan memicu perdebatan sengit di ruang digital Indonesia. Pemilik second account khususnya para gen Z mulai ketar-ketir.
Wacana pembatasan kepemilikan akun media sosial—satu orang hanya boleh memiliki satu akun untuk setiap platform—kini sedang dikaji secara serius oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Usulan ini, yang awalnya digulirkan oleh para anggota DPR. Tujuannya mulia, yaitu memberantas masifnya penyebaran hoaks, penipuan, dan judi online (judol) yang meresahkan.
Namun, di sisi lain, gagasan ini membentur tembok realitas budaya digital masa kini dan memicu kekhawatiran akan terkekangnya privasi serta kebebasan berekspresi.
Wacana ini bukan sekadar angin lalu. Komdigi telah mengonfirmasi bahwa mereka tengah melakukan kajian mendalam terhadap usulan tersebut.
Tujuannya adalah untuk menimbang secara cermat antara manfaat keamanan dan potensi risiko yang ditimbulkannya.
Alasan DPR Usul 1 Orang 1 Akun
Pemicu utama dari usulan ini adalah keprihatinan mendalam dari para pembuat kebijakan. Para anggota DPR merasa ruang penggunaan media sosial harus diatur agar tidak muncul ujaran kebencian, hoaks hingga bahkan judi online.
Usulan 1 orang 1 akun di setiap platform medsos ini muncul dari Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi.
Ia melontarkan wacana 1 warga negara hanya boleh punya satu akun di tiap media sosial. Kata Bambang, tujuannya untuk menghindari akun anonim maupun akun palsu.
Baca Juga: Golkar Usul Pengendalian Medsos Lewat SIM Card, Bukan Batasi Akun
"Kami berpendapat, ke depan, perlu juga single account terintegrasi, jadi setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun di setiap platform media sosial," ucap Bambang (12/9/2025).
"Kami belajar dari Swiss misalnya kan, satu warga negara hanya punya satu nomor telepon, karena nomor telepon tersebut terintegrasi dengan fasilitas bantuan pemerintah, medsos, dan lain lain," tambahnya.
Junico Siahaan, anggota Komisi I DPR Fraksi PDI Perjuangan merasa usulan ini masih bisa didiskusikan. Ia pun menyoroti 1 nama hanya untuk 1 nomor HP.
Menurut Nico, penggunaan medsos harus diatur, jika tidak dapat muncul masalah lebih besar dikemudian hari.
"Ke depan, kalau tidak mulai diatur dari sekarang, bisa berbalik jadi masalah yang lebih besar. Seperti penyebaran hoax dan hate speech yang tak terkendali," kata Nico.
Ia menambahkan "Belum lagi semakin sulit menangani masalah seperti judi online dan penipuan online yang sekarang saja sudah sulit ditangani".
Anggota DPR lain dari Komisi yang sama juga menyambut positif usulan 1 orang 1 akun medsos ini. Menurut Farah Puteri Nahlia dari PAN, keamanan warga agar terhindar kejahatan di ruang digital harus jadi prioritas.
"Kita harus memutus rantai kejahatan ini dari akarnya, dan itu dimulai dengan meniadakan anonimitas yang disalahgunakan," ujar Farah (16/9/2025).
Dengan 1 orang hanya memiliki 1 akun media sosial, Farah yakin jika terjadi penipuan atau tindak kejahatan di ranah digital dapat mudah terlacak pelakunya.
Dengan menghubungkan setiap akun ke identitas tunggal, jejak digital pelaku kejahatan akan menjadi lebih jelas, menciptakan efek jera dan meningkatkan keamanan di dunia maya.
Sementara itu pihak Komdigi dalam hal ini, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria, sedang mengkaji usulan itu. Ia pun ini bisa menjadi salah satu cara untuk meminimalisir konten negatif di media sosial.
"Kita lagi review itu, karena itu terkait juga dengan program Satu Data Indonesia," kata Nezar (14/9)
Menurut pengakuannya, Komdigi sedang mengkaji beberapa opsi untuk mengurangi hoax, upaya scamming hingga misinformasi. Termasuk opsi 1 akun untuk 1 nomor ponsel.
"Itulah yang mau kita kaji ada berapa nomor yang bisa dipakai, apabila kita punya satu akun itu lagi dikaji," ungkapnya
Suara Gen Z
Tak butuh waktu lama, usulan ini langsung menuai kritik tajam dari warganet. Di platform X (sebelumnya Twitter), banyak pengguna menyuarakan penolakannya.
Mereka berpendapat bahwa pemerintah seharusnya fokus pada akar masalah, seperti penegakan hukum yang lemah terhadap kejahatan siber, bukan malah membatasi hak digital warga.
Selain itu para pemilik second account yang kebanyakan adalah gen z pun mulai merasa khawatir terhadap usulan ini.
Di media sosial seperti X (sebelumnya Twitter), warganet menyuarakan protes mereka. Seperti yang terlihat dalam unggahan akun salam4jari.
"Hi para gen z, siap2 ya second account kalian akan hilang dalam waktu dekat," tulis akun itu dengan melampirkan tangkapan layar artikel usulan 1 orang 1 akun medsos (15/9/2025).
Warganet merasa pemerintah terlalu jauh masuk ke ranah privat. Argumen utamanya adalah, daripada mengorbankan privasi seluruh rakyat, lebih baik tingkatkan kapabilitas aparat penegak hukum untuk mengejar penjahat siber yang sesungguhnya.
"Ilangin akun-akun judol dulu aja gimana pak @/djedkomdigi ? lebih urgent itu," kata Devi***
"Sebelum second account dilarang, lebih baik second jabatannya yang dihilangkan dulu," komentar Sul***.
Muncul pula argumen bahwa banyak individu yang sah membutuhkan lebih dari satu akun untuk berbagai keperluan, yang sama sekali tidak terkait dengan aktivitas kriminal.
"Lah yang kerjanya perlu memisah akun profesional ama akun pribadi gimana nasibnya? Su** ini aturan. Nyerempet2 ama pemicu jurang nepal.." komentar Dar***
Mengapa Gen Z Punya Banyak Akun?
Di sinilah letak sudut pandang baru yang seringkali luput dari pertimbangan para pembuat kebijakan.
Bagi Generasi Z dan Milenial, memiliki banyak akun media sosial bukanlah anomali, melainkan sebuah kebutuhan untuk mengelola identitas digital yang kompleks.
Fenomena ini jauh dari niat kriminal, ini adalah tentang ekspresi diri dan segmentasi audiens.
Berdasarkan studi dan pengamatan budaya digital, berikut adalah alasan utama mengapa seseorang, terutama anak muda, memiliki banyak akun.
1. Akun Utama (Rinsta - Real Instagram)
Ini adalah etalase publik. Akun ini dikurasi dengan cermat untuk menampilkan citra diri yang ideal kepada dunia, termasuk keluarga, teman, dan calon atasan.
2. Akun Kedua (Finsta - Fake Instagram)
Dikhususkan untuk lingkaran pertemanan terdekat. Di sinilah mereka bisa menjadi diri sendiri, mengunggah konten yang lebih personal, lucu, atau bahkan rentan tanpa takut dihakimi oleh publik.
3. Akun Profesional
Banyak profesional muda memiliki akun terpisah untuk portofolio, jejaring karier, atau menjalankan bisnis sampingan. Mencampurnya dengan akun pribadi dianggap tidak profesional.
4. Akun Hobi (Fan Account/Community Account)
Digunakan untuk mendalami minat tertentu, seperti K-Pop, game, atau buku, tanpa harus "mengganggu" pengikut di akun utama mereka.
5. Akun Anonim untuk Privasi
Terkadang, seseorang hanya ingin berselancar di dunia maya, mengikuti isu tertentu, atau berkomentar tanpa harus menautkan identitas asli mereka, demi kenyamanan dan keamanan dari potensi perundungan.
Memaksakan satu akun untuk semua keperluan ini sama saja dengan meminta seseorang untuk menggunakan gaya bicara yang sama saat bersama teman, keluarga, dan atasan di kantor.
Hal ini tidak hanya membatasi, tetapi juga mengabaikan cara manusia modern berinteraksi dan membangun identitas di era digital.
Bagaimana menurut Anda? Apakah pembatasan satu akun per platform adalah langkah yang diperlukan untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman, atau justru sebuah kebijakan yang akan lebih banyak merugikan?
Bagikan pendapat Anda di kolom komentar di bawah ini!