- Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak wacana tax amnesty jilid III karena khawatir program tersebut akan mendorong wajib pajak untuk sengaja melanggar aturan
- Tax amnesty adalah program pengampunan pajak di mana wajib pajak dapat mengungkap harta yang belum dilaporkan dan membayar uang tebusan yang lebih rendah untuk menghindari sanksi berat
- Indonesia telah dua kali melaksanakan tax amnesty (2016-2017 dan 2022) yang berhasil mengungkap total aset lebih dari Rp5.400 triliun
Suara.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memberikan sinyal penolakan keras terhadap wacana program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III. Menurutnya, terlalu sering memberikan "diskon dosa" pajak justru akan menjadi preseden buruk dan membuat masyarakat terbiasa untuk tidak patuh pada aturan perpajakan.
Purbaya khawatir, jika program ini terus diulang, wajib pajak akan dengan sengaja menyembunyikan asetnya sambil menunggu program pengampunan berikutnya.
Sikap tegas itu menjadi sorotan di tengah adanya usulan RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.
"Itu memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar, nanti ke depan-depan ada amnesti lagi ... Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, ya sudah, nanti semuanya akan nyelundupin duit, tiga tahun lagi tax amnesty," kata Purbaya dalam sebuah media briefing di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (19/9/2025) lalu.
Pernyataan Menkeu ini memicu kembali pertanyaan publik yang mendasar: sebenarnya, apa itu tax amnesty dan mengapa program ini begitu kontroversial sekaligus menggiurkan?
Membedah Tax Amnesty: Pengampunan untuk Wajib Pajak 'Nakal'
Secara sederhana, tax amnesty adalah program penghapusan pajak yang seharusnya terutang oleh seorang wajib pajak. Sebagai gantinya, mereka diwajibkan untuk mengungkap seluruh harta kekayaan yang selama ini belum dilaporkan dan membayar sejumlah uang tebusan dengan tarif yang jauh lebih rendah dari sanksi normal.
Program ini ibarat sebuah "jembatan emas" yang disediakan pemerintah bagi para wajib pajak, terutama kalangan berduit, yang mungkin menyimpan asetnya secara rahasia di luar negeri, di negara-negara suaka pajak (tax haven), untuk membawa kembali uang tersebut ke dalam sistem keuangan negara.
Langkah ini bukan hal baru di dunia. Sejumlah negara maju seperti Australia, Jerman, Italia, hingga Amerika Serikat (AS) pernah menerapkan kebijakan serupa untuk tujuan yang sama: menarik dana "terparkir" dan memperluas basis data perpajakan mereka.
Baca Juga: Tax Amnesty Jilid 3 Terancam Batal, Menkeu Purbaya Sebut Kebijakan Bikin Wajib Pajak 'Kibul-Kibul'
Manfaat Dua Arah: Negara Untung, Wajib Pajak Tenang
Meskipun terdengar seperti pemerintah "mengalah" pada penunggak pajak, program ini dirancang dengan sejumlah manfaat strategis:
Bagi Wajib Pajak: Keuntungan utamanya adalah terhindar dari sanksi pajak yang sangat berat. Jika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di kemudian hari menemukan harta yang disembunyikan, sanksinya bisa mencapai 200 persen. Dengan ikut tax amnesty, mereka bisa "tidur nyenyak" karena data asetnya telah diputihkan.
Bagi Negara (Penerimaan): Uang tebusan yang dibayarkan menjadi suntikan penerimaan negara dalam jangka pendek.
Repatriasi Modal: Mendorong para wajib pajak untuk membawa pulang aset dan modal mereka dari luar negeri ke dalam negeri, yang kemudian bisa digunakan untuk investasi dan menggerakkan roda perekonomian.
Meningkatkan Kepatuhan: Setelah mengikuti amnesti, data aset wajib pajak kini tercatat resmi di DJP, sehingga di masa depan mereka diharapkan menjadi lebih patuh dalam membayar pajak.
Prosesnya pun dibuat mudah. Wajib pajak hanya perlu melaporkan hartanya melalui surat pernyataan aset, lalu membayar uang tebusan sesuai nilai harta yang diungkap. Setelah itu, DJP akan memberikan surat keterangan pengampunan pajak, yang membebaskan mereka dari tuntutan sanksi administrasi hingga pidana perpajakan.
Jejak Tax Amnesty di Indonesia: Ribuan Triliun Terungkap
Indonesia sendiri sudah dua kali menggelar program serupa. Tax amnesty jilid I yang fenomenal berlangsung pada periode 2016-2017. Kala itu, pemerintah mengklaim program ini hanya akan dilakukan sekali seumur hidup. Hasilnya luar biasa, diikuti oleh 956.793 wajib pajak dan berhasil mengungkap harta senilai Rp4.854,63 triliun. Dari program itu, negara meraup uang tebusan sebesar Rp114,02 triliun.
Namun, pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022, pemerintah kembali menggelar program serupa dengan nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang sering disebut tax amnesty jilid II. Program ini diikuti oleh 247.918 wajib pajak, dengan total harta yang diungkap mencapai Rp594,82 triliun dan menghasilkan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp60,01 triliun untuk kas negara.
Melihat rekam jejak ini, penolakan Menkeu Purbaya untuk jilid III menjadi sinyal bahwa pemerintah ingin beralih dari kebijakan "pengampunan" ke penegakan hukum pajak yang lebih konsisten.