- Tiga aliansi petani besar menggelar aksi di Istana Kepresidenan pada Hari Tani Nasional dan menyampaikan enam tuntutan utama kepada Presiden Prabowo Subianto
- Tuntutan paling krusial mencakup penghentian konflik agraria, redistribusi lahan, revisi regulasi, dan pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja
- Petani mengusulkan pembentukan Dewan Reforma Agraria Nasional untuk mengawal pelaksanaan reforma agraria
Suara.com - Suasana di sekitar Kompleks Istana Kepresidenan memanas bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional, Rabu (24/9/2025). Tiga aliansi petani besar mengepung Istana, menyuarakan nasib mereka yang kian terimpit dan menyodorkan enam tuntutan keras yang ditujukan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto.
Di tengah riuhnya aksi unjuk rasa, perwakilan dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), dan Koalisi Nasional untuk Reforma Agraria (KNARA) diterima oleh jajaran pemerintahan yang dipimpin oleh Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Juri Ardiantoro.
“Kami akan catat,” kata Juri singkat sebelum mendengarkan rentetan aspirasi dari para perwakilan petani di Gedung Kementerian Sekretariat Negara.
Pertemuan yang berlangsung tertutup itu menjadi ajang bagi para petani untuk menumpahkan segala persoalan yang mereka hadapi. Ketua Umum SPI, Henry Saragih, mengungkapkan bahwa tuntutan mereka diterima oleh tim yang ditunjuk langsung oleh Presiden.
“Mereka yang ditunjuk oleh Bapak Presiden untuk menerima kita, untuk menerima isi permohonan kita. Kita sudah menyampaikan enam permohonan,” tegas Henry usai pertemuan sebagaimana dilansir Antara.
Tuntutan pertama dan paling mendesak adalah permintaan agar Presiden Prabowo Subianto segera turun tangan menyelesaikan konflik-konflik agraria berdarah yang terus terjadi di berbagai daerah. Petani menuntut negara hadir untuk melindungi mereka.
“Kami meminta agar menghentikan berbentuk kekerasan, intimidasi maupun yang lainnya terhadap petani Indonesia,” kata Henry.
Kedua, para petani menagih janji reforma agraria. Mereka menyerukan agar tanah-tanah yang kini dikuasai perusahaan perkebunan besar maupun kawasan hutan segera diredistribusikan kepada petani penggarap yang lebih berhak.
Tuntutan ketiga adalah mendesak revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2023 tentang Reforma Agraria. Aturan yang ada saat ini dinilai mandul dan tidak mampu mempercepat distribusi lahan yang menjadi hak petani.
Baca Juga: Hari Tani Nasional 2025: Gerbang Tani Soroti Ketimpangan Tanah dan Mendesak Reforma Agraria
Gelombang tuntutan berlanjut pada isu kedaulatan pangan. Petani meminta Presiden Prabowo merevisi Undang-Undang Pangan untuk menghentikan ketergantungan pada impor yang selama ini menyengsarakan petani lokal.
“Demikian juga kita berharap agar revisi Undang-Undang Kehutanan itu, adalah untuk melaksanakan reforma agraria, memastikan tanah kepada petani dan masyarakat adat kita,” tambah Henry.
Tuntutan kelima menjadi yang paling disorot: pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Henry, UU kontroversial ini justru menjadi biang kerok yang memperburuk kondisi petani, menyempitkan lapangan kerja, dan melegalkan praktik perampasan tanah oleh korporasi.
Sebagai pamungkas, para petani mengusulkan sebuah solusi kelembagaan baru. Mereka mendesak pembentukan Dewan Reforma Agraria Nasional dan Dewan Kesejahteraan Nasional. Dewan ini dianggap krusial untuk memastikan program-program andalan pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa (KopDes) Merah Putih, benar-benar berjalan dan menyejahterakan petani.
“Untuk menyiapkan Makan Bergizi Gratis, untuk membangun Koperasi Desa Merah Putih, dan juga program-program lainnya supaya bisa didukung, ini harus dilaksanakan Reforma Agraria dengan membentuk Dewan Reforma Agraria Nasional, dan Dewan Kesejahteraan Nasional untuk Petani. Tanpa ada dewan ini, kesejahteraan petani dan reforma agraria itu tidak bisa dilaksanakan,” pungkasnya.