-
Sepanjang 2024, tercatat 204 kasus femisida dengan 209 korban jiwa perempuan, rata-rata satu perempuan dibunuh setiap dua hari.
-
Pemerintah dinilai belum menganggap femisida sebagai isu utama kekerasan berbasis gender, sehingga kebijakan pencegahan masih minim.
-
Hampir 50% femisida berasal dari kekerasan dalam rumah tangga, banyak korban sebelumnya tidak dianggap serius saat melapor ke kepolisian.
Suara.com - Jakarta Feminist mengungkap situasi kekerasan terhadap perempuan dalam beberapa waktu belakangan. Pada 2024, kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan masih marak terjadi.
Data Jakarta Feminist setidaknya mencatat sepanjang 2024 terdapat 204 kasus femisida dengan jumlah korban jiwa sebanyak 209 perempuan.
"Yang artinya setiap dua hari ada satu perempuan Indonesia yang dibunuh," kata Direktur Jakarta Feminist Anindya Restuviani dalam konferensi pers jelang penyelenggaraan Women's March Jakarta 2025 di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (26/9/2025).
Sayangnya kata Vivi, sapaan Anindya Restuviani, ratusan kasus itu hanya dipandang sekedar angka oleh pemerintah.
Pemerintah menurutnya, belum memandang femisida sebagai primada kekerasan berbasis gender dan seksual. Hal itu terbukti ketiadaan kebijakan hukum untuk mencegahnya.
"Akibatnya banyak sekali korban-korban femisida yang sebetulnya memiliki hak untuk mendapatkan keadilan, keluarganya mendapatkan restitusi, ini masih belum didapatkan oleh keluarga," kata Vivi.
Kebijakan hukum menjadi penting sebagai upaya pencegahan. Sebab berdasarkan identifikasi kasus yang dilakukan Jakarta Feminist, hampir 50 persen femisida merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
"Dimana mereka pernah melaporkan ke kepolisian, tapi sering dari mereka tidak dianggap serius. Sehingga mereka harus dikembalikan kepada keluarganya, dan terjadilah pembunuhan terhadap korban perempuan," kata Vivi.
Baca Juga: Natasha Ardiani, Founder Perempuan yang Siap Bawa Fintech Indonesia Mendunia