-
Romo Magnis sebut tragedi '65 adalah kejahatan negara.
-
Ia samakan kejahatannya dengan Nazi, tak bisa dimaafkan.
-
Meski anti-komunis, pelanggaran HAM harus tetap dikutuk.
Suara.com - Budayawan Franz Magnis Suseno melontarkan pertanyaan 'perandaian' yang provokatif, mengajak publik untuk berpikir ulang mengenai narasi sejarah tragedi 1965-1966.
Pertanyaan ini menjadi sorotan dalam diskusi yang digelar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Romo Magnis, sapaan akrabnya, menggugat kemungkinan sejarah yang berbeda dengan sebuah pertanyaan retoris.
"Andai kata Bung Karno pada tanggal 6 Oktober memenuhi tuntutan Soeharto dan melarang PKI, apakah pembunuhan itu akan terjadi?" tanyanya di hadapan audiens, Senin (29/9/2025).
Pertanyaan ini membuka diskusi mengenai berbagai kemungkinan dan pilihan sejarah yang mungkin bisa mengubah arah peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia.
Selain pertanyaan 'what if' tersebut, Romo Magnis juga memberikan pandangan pribadinya yang keras terhadap peristiwa itu.
Ia menyebutnya sebagai momen "paling mengerikan" dan kejahatan negara yang secara fundamental tidak bisa dimaafkan, bahkan menyamakannya dengan kejahatan Nazi.
“Pelanggar hak asasi manusia menurut saya, dilakukan oleh negara, dan sebetulnya tidak bisa dimaafkan,” tegasnya.
Ia juga menolak konsep pengampunan bagi para pelaku.
“Kalau orang menyebabkan kematian banyak orang, mau dimaafkan apa itu?" tanyanya retoris.
Baca Juga: 10 Link Twibbon Hari Kesaktian Pancasila, Langsung Pasang di Foto Profil
Romo Magnis kemudian mempertegas pendiriannya yang konsisten mengecam pelanggaran HAM.
“Tetapi pada dasarnya pelanggaran seperti itu, harus dikutuk, saya sendiri kan seorang anti komunis, saya tidak dukung komunis,” katanya.
Reporter : Safelia Putri