Teka-teki Kematian Siswi SMK Dikaitkan dengan Keracunan MBG, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 07 Oktober 2025 | 12:59 WIB
Teka-teki Kematian Siswi SMK Dikaitkan dengan Keracunan MBG, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Siswa korban keracunan MBG mendapat perawatan di dalam mobil ambulans di Posko Penanganan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 24 September 2025.(Foto: ANTARA FOTO/Abdan Syakura)
Baca 10 detik
  • Penyebab pasti kematian siswi SMK berinisial BR tetap menjadi misteri karena pihak keluarga menolak untuk melakukan autopsi
  • Terjadi perbedaan pendapat tajam antara pemerintah dan pakar kesehatan
  • Pakar kesehatan menegaskan bahwa gejala keracunan makanan dapat muncul beberapa hari setelah konsumsi

Suara.com - Kematian misterius seorang siswi SMK Negeri 1 Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, berinisial BR (17), memicu perdebatan sengit antara otoritas pemerintah dan pakar kesehatan. Otoritas resmi menyangkal kematiannya terkait insiden keracunan massal program Makanan Bergizi Gratis (MBG), namun para ahli menganggap kesimpulan tersebut "gegabah" dan tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.

Melansir laman BBC Indonesia, Selasa (7/10/2025), BR mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa (30/09), hampir sepekan setelah ia turut mengonsumsi paket MBG yang menyebabkan 167 temannya di sekolah keracunan. Pihak sekolah mengonfirmasi BR memakan menu hari itu yakni telur, pecel, dan kentang rebus. Namun namanya tidak masuk dalam daftar siswa yang dilaporkan mengalami gejala keracunan pada Rabu (24/09).

"Kalau berdasarkan pengakuan dari teman-temannya beliau (BR) itu mengonsumsi (MBG)," ungkap Wali Kelas BR, Imron Komarudin, Jumat (03/10).

Keluarga bahkan menyebut BR menyantap hingga dua porsi. Anehnya, ia tampak sehat selama berhari-hari. "[BR] bilang ke uwanya yang perempuan, 'Wa, orang lain mah pada keracunan, BR mah kuat sampai habis dua porsi'," ujar paman BR, Nanang Suryana.

Namun, drama dimulai pada Senin (29/09), lima hari setelah mengonsumsi MBG. BR mengeluh sakit kepala hebat. Kondisinya memburuk drastis pada Selasa (30/09) dini hari, di mana ia mulai muntah-muntah. Siang harinya, sang adik menemukannya dalam kondisi "seolah-olah kejang" dan tidak merespons.

Nahas, nyawanya tak tertolong. Pihak RSUD Cililin menyatakan BR sudah dalam kondisi Dead on Arrival (DoA) atau meninggal dalam perjalanan.

"Pasien datang kondisinya sudah pucat, kemudian kebiruan, gerakan napasnya sudah tidak ada," jelas Kepala Pelayanan IGD RSUD Cililin, dr. Dwi Puspitasari Anggita.

Tanpa autopsi, penyebab pasti kematiannya tidak dapat dipastikan.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, dengan cepat menepis kaitan kematian BR dengan program MBG. Dasarnya, gejala yang dialami BR muncul lebih dari 2x24 jam setelah mengonsumsi makanan tersebut.

Baca Juga: Sudah Ada 10 Lokasi Keracunan MBG di Jakarta, Sebagian Besar Disebabkan karena Ini

Sikap inilah yang dikritik keras oleh para pakar. Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menegaskan bahwa kemungkinan keracunan tidak bisa disingkirkan begitu saja.

"Jangan menyatakan bukan karena [keracunan] MBG. Itu kan ketakutan semuanya... Kemungkinan kematian yang disebabkan oleh keracunan [MBG] tidak bisa disingkirkan," ujarnya.

Menurut Pandu, menyimpulkan tanpa investigasi mendalam adalah tindakan gegabah.

Pendapat ini didukung oleh pakar kesehatan masyarakat, Profesor Tjandra Yoga Aditama. Merujuk data CDC Amerika Serikat, ia menjelaskan bahwa masa inkubasi racun makanan sangat bervariasi. Bakteri seperti Salmonella bisa menunjukkan gejala hingga enam hari, Cyclospora hingga satu minggu, dan Listeria bahkan sampai dua minggu setelah dikonsumsi.

Di tengah simpang siur ini, keluarga menolak tawaran autopsi untuk memastikan penyebab kematian BR. Pihak keluarga meyakini BR meninggal karena penyakit lambung yang dideritanya dan kelalaian karena terlambat dibawa ke rumah sakit.

"Ini tetap kelalaian. BR memang telat penanganan," papar Nanang Suryana, sang paman.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI