- Anggota DPRD Banten Dede Rohana Putra meminta investigasi yang adil dalam kasus SMAN 1 Cimarga dan mengingatkan agar tidak langsung menyalahkan kepala sekolah karena "ada asap pasti ada api"
- Dede mengusulkan jika siswa terbukti melanggar aturan, seperti merokok, ia juga harus diberi sanksi tegas untuk menciptakan efek jera dan menjaga wibawa pendidik
- Ia khawatir jika hanya kepala sekolah yang disanksi saat menegakkan disiplin, hal itu akan menciptakan preseden buruk yang membuat guru lain takut mendisiplinkan siswa bermasalah
Suara.com - Kasus dugaan penamparan siswa yang memicu aksi mogok sekolah di SMAN 1 Cimarga, Lebak, kini mendapat sorotan tajam dari parlemen Banten. Anggota DPRD Provinsi Banten, Dede Rohana Putra, mendesak agar penyelidikan kasus ini dilakukan secara transparan dan tidak berat sebelah, serta meminta publik untuk tidak terburu-buru menghakimi kepala sekolah.
Sambil menegaskan bahwa kekerasan fisik dalam bentuk apa pun tidak dapat dibenarkan, Dede Rohana menekankan pentingnya untuk melihat akar permasalahan secara menyeluruh.
Menurutnya, perlu dibentuk tim investigasi independen untuk melakukan kroscek mendalam di lapangan guna mengungkap fakta yang sebenarnya.
"Jadi memang kekerasan fisik itu tidak pernah dibenarkan dalam hukum kita, akan tetapi ada asap pasti ada api, ada yang melatarbelakangi. Maka kita harus bentuk tim investigasi harus kroscek ke lapangan ini karena apa," ujar Dede Rohana.
Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengusulkan sebuah jalan tengah yang dianggapnya adil. Jika hasil investigasi nantinya membuktikan kedua belah pihak, baik kepala sekolah maupun siswa, sama-sama bersalah, maka sanksi harus diterapkan secara berimbang. Ia bahkan menyarankan sanksi tegas bagi siswa untuk memberikan efek jera.
"Kalau kepsek diberikan sanksi ya siswa juga karena merokok di sekolah atau karena tidak disiplin. apakah siswanya dikeluarkan dipakai jadi efek jera juga," tegasnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua PAN Banten itu menyuarakan kekhawatirannya terhadap preseden buruk yang mungkin timbul jika hanya kepala sekolah yang dihukum. Menurutnya, jika seorang pendidik yang mencoba menegakkan aturan disalahkan sementara siswa yang jelas melanggar aturan justru dibela, hal ini akan membuat kepala sekolah lain menjadi takut untuk bertindak disiplin.
"Jangan sampai ketika kita menghukum kepsek karena menegakkan aturan misalnya, sedangkan siswa yang salah malah dibela, nanti kepsek yang lain mau mendisiplinkan siswa yang bermasalah jadi pada takut, nanti siswa makin berani," paparnya.
Terkait keputusan menonaktifkan kepala sekolah, Dede setuju langkah itu diambil sementara demi objektivitas proses investigasi. Namun, ia mengingatkan agar keputusan final untuk memberhentikan tidak diambil secara gegabah.
Baca Juga: Instagram Gubernur Banten 'Diserbu' Netizen Buntut Nonaktifkan Kepala SMAN 1 Cimarga
"Harus terang benderang dulu ya sebelum mengambil keputusan, harusnya dalam rangka posisi investigasi, harus dinonjobkan dulu dan tugasnya sementara dihandle oleh wakasek, biar tim investigasi ini bisa berjalan," katanya.
Ia pun mengingatkan pada kasus viral serupa di Jawa, di mana seorang kepala sekolah yang menegur siswa anak pejabat awalnya disalahkan, namun belakangan terbukti benar.
"Dan itu harus jadi pelajaran buat kita, ketika mendapatkan informasi itu kita harus kroscek lah, harus tabayyun jangan sampai keputusan itu diambil ternyata ada yang terdzolimi," imbaunya.
Dede meyakini Gubernur Banten akan bersikap bijak dan mengevaluasi kembali pernyataan awalnya setelah menerima informasi yang lebih lengkap dan berimbang.
"Saya yakin nanti ada pihak-pihak lain yang menyampaikan ke gubernur berita yang jelas dan sebenarnya biar Pak Gubernur bisa memberikan keputusan yang lebih fair, lebih adil," pungkasnya.