- Said Didu mempertanyakan mengapa Luhut Binsar Pandjaitan tidak menghentikan proyek Whoosh meski mengaku sudah tahu "busuk" sejak awal
- Said Didu menegaskan Whoosh bukan proyek B to B, melainkan penugasan pemerintah ke BUMN, sehingga kerugiannya berpotensi ditanggung negara
- KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi proyek Whoosh, yang diperkuat oleh tudingan Mahfud MD soal adanya mark up biaya hingga tiga kali lipat
Suara.com - Pengakuan mengejutkan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan bahwa proyek Kereta Cepat Whoosh "busuk" sejak awal memicu reaksi keras. Analis Kebijakan Publik, Said Didu, mempertanyakan mengapa Luhut, yang mengetahui masalah ini, justru tidak menghentikan proyek tersebut.
Dalam program Rakyat Bersuara di iNews, Said Didu mengaku heran dengan sikap Luhut yang melanjutkan proyek meski sadar ada masalah fundamental di dalamnya. Menurutnya, pengakuan tersebut justru membuka kotak pandora.
"Itu pintu menjelaskan artinya dia tahu busuknya, sayangnya kebusukan itu tidak dihentikan dilanjutkan juga," ujar Said Didu.
Lebih lanjut, Said Didu membantah klaim bahwa Whoosh adalah murni proyek Business to Business (B to B). Ia menegaskan bahwa proyek ini merupakan penugasan pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang memiliki konsekuensi hukum dan finansial yang jelas.
"Karena di Perpres Nomor 107 Tahun 2015 itu memang mantan Presiden Joko Widodo menyatakan menugaskan kepada BUMN, kata menugaskan itu pengakuan bahwa itu proyek pemerintah," katanya.
"Di Undang-Undang BUMN menyatakan apabila pemerintah menugaskan kepada BUMN dan proyeknya rugi maka seluruh biayanya ditanggung pemerintah ditambah margin yang layak. Jadi bilang B to B itu hanya omon-omon saja nggak pernah B to B," sambungnya.
Sebelumnya, Luhut secara terbuka mengakui bahwa proyek Whoosh sudah bermasalah bahkan sejak ia menjabat sebagai Menko Maritim dan Investasi di era Presiden Jokowi.
"Whoosh itu kan tinggal restructuring saja siapa yang minta APBN? Tak ada yang pernah minta APBN? Restructuring, saya sudah bicara dengan China karena saya yang sejak awal mengerjakan itu karena saya terima sudah busuk itu barang," ujar Luhut dalam diskusi 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di JS Luwansa, Jakarta, Sabtu (18/10/2025).
Luhut mengklaim bahwa solusi dari masalah utang ini adalah restrukturisasi keuangan dan pihak China telah menyetujuinya. "China mau untuk melakukan dan kemudian pergantian pemerintah agak terlambat sehingga sekarang nunggu Keppres sehingga timnya geser berunding dan sementara China sudah bersedia, nggak ada masalah," kata Luhut.
Baca Juga: Bukan Cari Cuan, Jokowi Beberkan Alasan Bangun Whoosh Meski Diterpa Isu Korupsi
Di tengah polemik ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menaikkan status dugaan korupsi proyek Whoosh ke tahap penyelidikan sejak awal 2025. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa pihaknya masih fokus mendalami unsur-unsur pidana dan belum bisa merinci siapa saja yang akan dipanggil.
Penyelidikan ini sejalan dengan ungkapan mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, yang menyoroti adanya dugaan penggelembungan anggaran (mark up) fantastis dalam proyek tersebut.
"Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per satu kilometer kereta Whoosh itu 52 juta dolar Amerika Serikat. Akan tetapi, di China sendiri, hitungannya 17-18 juta dolar AS. Naik tiga kali lipat," ungkap Mahfud melalui kanal YouTube-nya.
"Ini siapa yang menaikkan? Uangnya ke mana? Naik tiga kali lipat. 17 juta dolar AS ya, dolar Amerika nih, bukan rupiah, per kilometernya menjadi 52 juta dolar AS di Indonesia. Nah itu mark up. Harus diteliti siapa yang dulu melakukan ini," tambah dia.