suara hijau

Greenpeace Ingatkan Pemerintah: COP30 Jangan Jadi Panggung Retorika Iklim

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 12 November 2025 | 14:29 WIB
Greenpeace Ingatkan Pemerintah: COP30 Jangan Jadi Panggung Retorika Iklim
Paviliun Indonesia di COP30 Resmi Buka. (Dok. Kementerian Kehutanan)
Baca 10 detik
    • Kebijakan Indonesia bertolak belakang dengan klaim aksi iklim ambisius.
    • NDC tertutup, biofuel dan pembukaan lahan ancam masyarakat adat dan ekosistem.
    • Hak masyarakat adat diabaikan, tutupan hutan rendah, akuntabilitas lemah.

Suara.com - Menjelang pembahasan utama (COP30) di Belém, Brasil, Greenpeace Indonesia mewanti kepada pemerintah pusat untuk tidak menjadikan forum global tersebut sebagai ajang retorika di tengah dampak krisis iklim yang semakin nyata. Greenpeace menilai kebijakan nasional kita nyatanya masih jauh dari semangat transisi hijau yang sesungguhnya.

Dalam Leaders Summit yang digelar 6-7 November, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, tampil menyampaikan optimisme bahwa Indonesia siap memimpin aksi iklim yang nyata, inklusif, dan ambisius. Ia menegaskan era negosiasi panjang sudah usai dan kini sudah saatnya untuk bertindak.

Namun, dibalik narasi tersebut, Greenpeace Indonesia menilai pemerintah kita justru masih terjebak pada kebijakan yang memperparah krisis iklim. Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyebut arah kebijakan energi nasional masih didominasi fosil, bukan energi bersih. 

Aktivis lingkungan melakukan aksi di Jalan Sudirman, Jakarta, Jumat (27/9/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Aktivis lingkungan melakukan aksi di Jalan Sudirman, Jakarta, Jumat (27/9/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

“Pidato yang disampaikan Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo di COP30 penuh kontradiksi jika disandingkan dengan dokumen komitmen iklim Indonesia yang teranyar (Second NDC) dan situasi yang terjadi di Indonesia.” kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia dari Jakarta.

Sederet kebijakan yang Hashim paparkan justru dinilai bertolak belakang dengan semangat aksi nyata yang digaungkan.

Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang masih berorientasi pada pengurangan bukan penghentian penggunaan batu bara. Itu dinilai tidak sejalan dengan target net zero emission 2060 atau lebih cepat seperti yang dijanjikan pemerintah.

Regulasi turunan juga masih memberi ruang bagi energi fosil. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 misalnya, pemerintah masih mencantumkan pembangunan pembangkit gas hingga 10 gigawatt dan kapasitas PLTU untuk industri juga diproyeksikan meningkat sampai 15 gigawatt dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang berpotensi memperparah emisi.

Hashim disitu juga menyinggung pasal target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2030. Namun nyatanya capaian energi tersebut masih mandek di angka 14,65 persen—angka yang jauh dari ambisi Presiden Prabowo yang menargetkan 100 persen energi terbarukan pada 2035.

Kritik lain juga muncul saat proses penyusunan dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC) yang dinilai tertutup dan minim partisipasi publik. Pemerintah kita dianggap terlalu menekankan ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen sementara struktur ekonominya masih bergantung pada sektor ekstraktif.

Baca Juga: Menteri Lingkungan Hidup: Ekonomi Hijau Harus Sejalan dengan Masyarakat dan Alam

Dalam pidatonya, Hashim menyinggung rencana peningkatan produksi biodiesel dan bioetanol. Tetapi di lapangannya, kebijakan tersebut menuai sorotan karena berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan konflik lahan, terutama di kawasan timur Indonesia. Greenpeace mencontohkan dari kasus di Merauke, Papua, di mana perusahaan tebu PT Murni Nusantara Mandiri disebut telah membuka sekitar 5.000 hektare lahan hingga September 2025.

Hashim disini turut mengumumkan juga dukungan negara Indonesia terhadap inisiatif Tropical Forest Forever Facility (TFFF), Indonesia berkomitmen mau berkontribusi sebesar US$1 miliar. Namun, malah sejumlah pihak menilai langkah tersebut belum akan berdampak besar jika isu mendasar seperti pengakuan hak masyarakat adat saja masih diabaikan.

Rayhan Dudayev Ketua Tim Politik untuk Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace yang hadir di Belém, menyatakan bahwa “Skema TFFF menuntut setidaknya 20 persen pendanaan diarahkan langsung kepada masyarakat adat yang memerlukan pengakuan hukum dan perlindungan penuh.

Jika pemerintah terus membiarkan atau bahkan menjadi pelaku yang merampas hak-hak Masyarakat Adat, sebesar apa pun kontribusi Indonesia di TFFF akan jadi performatif saja.”

Selain itu, skema TFFF juga dinilai perlu diperbaiki dari sisi teknis dan tata kelola. Ambang batas tutupan hutan dalam inisiatif ini disebut masih terlalu rendah, hanya 20–30 persen dari kanopi, padahal secara ilmiah minimal 50 persen dibutuhkan untuk menjaga ekosistem tetap stabil.

Lemahnya sistem pemantauan degradasi hutan dan belum adanya mekanisme akuntabilitas yang memastikan pendanaan benar-benar berpihak pada konservasi, bukan kepentingan industri.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI