- Pemisahan jadwal ini bisa membuka sejumlah risiko baru yang perlu diantisipasi.
- Arfianto menilai pemisahan jadwal dapat memberikan ruang bagi pemilih untuk lebih fokus dan rasional dalam menentukan pilihan.
- Partisipasi dalam pemilu daerah bisa menurun jika perhatian publik dan komunikasi politik masih terpusat pada pemilu nasional.
Suara.com - Research Associate di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menilai pemisahan jadwal penyelenggaraan pemilu bisa meningkatkan efisiensi teknis dan memperkuat kapasitas kelembagaan penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, dia juga menyebut bahwa pemisahan jadwal ini bisa membuka sejumlah risiko baru yang perlu diantisipasi.
“Pemisahan jadwal pemilu bisa mengurangi beban kerja berat seperti yang kita lihat pada Pemilu Serentak 2019 dan 2024,” kata Arfianto dalam keterangannya, dikutip pada Jumat (14/11/2025).
Menurut dia, pengalaman dua pemilu serentak sebelumnya menunjukkan bahwa beban administratif dan teknis yang besar sering kali membuat proses penyelenggaraan menjadi kurang efisien dan berisiko tinggi bagi penyelenggara di lapangan.
Meski begitu, dia menegaskan bahwa rencana pemisahan jadwal juga memiliki risiko yang berbeda dari dua pemilu serentak sebelumnya.
“Kita tetap harus waspada terhadap potensi meningkatnya beban fiskal negara, kompleksitas logistik dan pengadaan, serta ketidakpastian hukum karena belum ada revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang Pemilu,” jelas Arfianto.
Dari sisi partisipasi politik, Arfianto menilai pemisahan jadwal dapat memberikan ruang bagi pemilih untuk lebih fokus dan rasional dalam menentukan pilihan.
“Idealnya, ini bisa meningkatkan kualitas representasi politik,” ujar dia.
Namun, Arfianto mengingatkan bahwa partisipasi dalam pemilu daerah bisa menurun jika perhatian publik dan komunikasi politik masih terpusat pada pemilu nasional.
Baca Juga: Ada 53 Kasus Kekerasan Seksual Oleh Penyelenggara Pemilu Tahun 2023, Tapi Tak Diusut Tuntas
Untuk itu, dia menekankan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ini akan sangat bergantung pada kemampuan penyelenggara dan aktor politik dalam membangun pendidikan politik yang berkelanjutan serta strategi komunikasi publik yang inklusif.
“Tanpa pendidikan politik yang kuat dan komunikasi yang menyeluruh, pemisahan jadwal justru bisa menciptakan jarak antara pemilih dan proses politik di daerah,” tegas Arfianto.
Dengan begitu, TII merekomendasikan tujuh langkah untuk penguatan demokrasi, yaitu penguatan kapasitas kelembagaan penyelenggara pemilu melalui sistem pelatihan dan sertifikasi petugas berkelanjutan; penerapan multi-year budgeting guna menjaga efisiensi fiskal; dan revisi komprehensif Undang-Undang Pemilu dan Pilkada untuk menjamin kepastian hukum.
Selain itu, TII juga merekomendasikan pengembangan strategi komunikasi publik dan pendidikan pemilih jangka panjang; peningkatan partisipasi kelompok rentan dan marginal; transparansi dan akuntabilitas pengawasan pemilu; serta pemanfaatan jeda waktu antar-pemilu untuk memperkuat pendidikan politik dan konsolidasi kelembagaan di tingkat lokal.
“Pemisahan jadwal jangan dilihat sekadar sebagai perubahan teknis. Jika dirancang dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi tonggak penting untuk memperbaiki tata kelola demokrasi elektoral,” tandas Arfianto.