- Pendapatan menurun, biaya jurnalisme naik, disinformasi meningkat, dan platform digital mendominasi iklan.
- Dari pola kerja, KPI, hingga diversifikasi bisnis berbasis teknologi, komunitas, dan direct traffic.
- Penguatan SDM, sertifikasi, pemanfaatan AI, dan cek fakta diposisikan sebagai fondasi untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Suara.com - Industri media Indonesia sedang berada di titik paling krusial dalam satu dekade terakhir. Model bisnis lama tumbang, pemasukan menurun, sementara biaya produksi, terutama untuk menghasilkan jurnalisme berkualitas, terus meningkat.
Di saat bersamaan, platform digital raksasa merebut kue iklan, disinformasi menyebar cepat, dan kepercayaan publik pada media terus tergerus. Kondisi ini memaksa media beradaptasi bukan hanya dalam hal konten, tetapi juga cara kerja, struktur organisasi, dan strategi bisnis.
Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, mengungkap gambaran jujur tentang beratnya tekanan lima tahun terakhir. Menurutnya, berbagai model bisnis telah diuji, ada yang berhasil, banyak pula yang gagal.

“Hari ini jurnalisme tidak bisa lagi membiayai bisnis media,” ujarnya dalam Media Sustainability Forum 2025: Memperkuat Daya Hidup Media dalam Ekosistem Digital: Berdaya, Bertumbuh, dan Berkelanjutan yang digelar pada 3 Desember 2025.
Suwarjono menjelaskan bahwa pada 2019–2020, Suara.com sempat merekrut lebih dari 200 orang, sebuah pencapaian besar. Namun tantangan berikutnya adalah mempertahankan ratusan pekerja itu dalam ekosistem yang terus berubah.
“Transformasinya luar biasa berat. Kami harus menggerakkan 200 orang ke berbagai lini bisnis, produk, dan kebutuhan audiens yang semakin menyebar,” ujarnya.
Menurutnya, jurnalisme tetap mahal dan harus dibiayai. Karena itu, Suara.com kini memosisikan media bukan lagi sebatas penyedia konten, melainkan salah satu produk dalam sebuah “rumah besar” yang menggabungkan jurnalisme, teknologi, komunitas, dan media sosial.
Strategi adaptasinya mencakup meninggalkan pola kerja lama, beralih ke sistem yang lebih lincah, mengubah KPI dengan membagi tim ke unit-unit kecil yang memiliki target spesifik, mendorong direct traffic, serta memperkuat kredibilitas sebagai diferensiasi utama. Komunitas, baik online maupun offline, menjadi jangkar loyalitas yang terus dibangun.
Pada forum yang sama, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, Maria Yuliana Benyamin, memaparkan langkah redaksinya dalam menjaga kualitas konten sambil mengadopsi teknologi baru.
Baca Juga: Suara.com Gelar Workshop Jurnalisme Konstruktif untuk Perkuat Liputan Lingkungan
Bisnis Indonesia memanfaatkan AI untuk mendukung pekerjaan harian, memperkuat kanal distribusi seperti YouTube, podcast, dan newsletter, serta mendiversifikasi pendapatan melalui paid content, aktivasi, dan data. “Digital mindset penting, tapi prinsip jurnalistik tetap harus dijaga,” tegasnya.
Sementara itu, CEO KG Media, Andy Budiman Kumala, menekankan pentingnya sertifikasi wartawan dan pengembangan wartawan spesialis sebagai upaya menjaga standar kualitas. KG Media juga menggunakan Content Quality Index untuk menilai mutu konten dan mendorong peningkatan kapasitas jurnalis.
Pemimpin Redaksi Tirto.id, Rahmadin Ismail, menegaskan komitmen redaksinya pada verifikasi dan cek fakta, bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai produk utama.
Dengan dukungan peneliti khusus dan berbagai panel ahli, Tirto menempatkan pemeriksaan fakta sebagai fondasi integritas redaksi.
Diskusi ini merangkum tantangan besar industri media: tekanan bisnis, disinformasi, dan urgensi membangun kembali kepercayaan publik. Di tengah disrupsi yang tak terhindarkan, media dipaksa berinovasi tanpa kehilangan hal paling mendasar—jurnalisme yang kredibel.