suara hijau

Bisa Kurangi Ketergantungan Impor, Mengapa Bioetanol Masih Belum Juga Jadi Solusi?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Senin, 08 Desember 2025 | 16:17 WIB
Bisa Kurangi Ketergantungan Impor, Mengapa Bioetanol Masih Belum Juga Jadi Solusi?
Ilustrasi bioetanol sebagai bahan bakar. [Ist]

Suara.com - Indonesia sudah bertahun-tahun berada dalam paradoks energi, impor BBM yang menggerus devisa, namun kesulitan menyiapkan fondasi untuk memproduksi bahan bakar alternatif di dalam negeri.

Pada Oktober lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menyebut impor minyak membuat devisa negara hilang Rp 776 triliun per tahun angka yang menggambarkan betapa rentannya ketahanan energi nasional.

Di tengah tekanan itu, bioetanol sering disebut sebagai peluang besar, tetapi hingga kini masih lebih banyak menjadi wacana ketimbang langkah nyata.

Hal itu kembali mencuat dalam Kagama Leaders Talk: Revolusi Bioetanol – Mewujudkan Sinergi Hulu-Hilir, Senin (8/11/2025). VP Technology & Engineering Pertamina Power Indonesia, Nanang Kurniawan, menilai hambatan terbesar bukan pada teknologi atau kesiapan petani, melainkan pada absennya mandat kebijakan yang tegas.

Pertamina Patra Niaga berkolaborasi dengan PT Toyota-Astra Motor (TAM) dan PT Serasi Autoraya atau TRAC menggelar uji coba bioetanol E10 di Surabaya selama 1 tahun. [Antara]
Pertamina Patra Niaga berkolaborasi dengan PT Toyota-Astra Motor (TAM) dan PT Serasi Autoraya atau TRAC menggelar uji coba bioetanol E10 di Surabaya selama 1 tahun. [Antara]

Tanpa target pencampuran (blending mandate), industri tidak punya arah untuk menambah kapasitas, investor tidak mampu menghitung risiko, dan rantai pasok enggan berbenah. Ketidakjelasan itu berujung pada masalah klasik: bahan baku yang tidak stabil.

Tebu, molases, hingga jagung berada dalam fluktuasi produktivitas, harga, dan kompetisi industri, sementara integrasi hulu–hilir yang seharusnya menjamin suplai belum terbentuk.

Di sisi lain,  Direktur Utama Medco Papua dan Komisaris Utama Medco Ethanol Lampung, Budi Basuki, melihat peluang besar yang justru tak dimanfaatkan. Indonesia memiliki siklus panen dua hingga tiga kali setahun, lebih tinggi dibanding Amerika atau Brasil.

Dengan intervensi di hulu, terutama untuk meningkatkan produktivitas pertanian, ia yakin biaya produksi bisa turun dan pendapatan petani menjadi lebih stabil.

Budi mencontohkan pabrik gula yang mendapat hingga 90 persen pasokannya dari petani kecil, sebuah model yang menurutnya cocok untuk bioetanol.

Baca Juga: Update Harga BBM Shell yang Resmi Stok Tersedia Mulai Hari Ini

Namun suplai molases, bahan baku utama, justru banyak diekspor, membuat kapasitas nasional tidak pernah optimal. 

Meski demikian, semua itu bukan tanpa kritik. Dalam sebuah pernyatannya, Greenpeace Indonesia menilai percepatan bioenergi berisiko menjadi dalih baru membuka hutan.

Proyek Strategis Nasional kebun tebu–bioetanol di Merauke disebut berpotensi melepaskan 221 juta ton CO dari pembukaan 560 ribu hektare vegetasi alamisetara emisi 48 juta mobil per tahun.

“Ini saja sudah cukup menggagalkan target iklim Indonesia di COP30,” kata juru kampanye hutan Refki Saputra. 

Ia menggarisbawahi, bahwa energi hijau tidak boleh mengulang jejak lama: menebang hutan demi pertumbuhan.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI