- Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota aktif Polri menduduki 17 jabatan kementerian/lembaga.
- Perpol tersebut bertentangan dengan putusan MK yang mengharuskan anggota Polri mundur atau pensiun sebelum mengisi jabatan di luar institusi.
- Para pengamat menilai Perpol ini bermasalah secara konstitusional dan kelembagaan, menyarankan solusi melalui UU atau Perppu, bukan peraturan internal.
Suara.com - Di tengah dinamika politik dan hukum nasional, sebuah peraturan internal kepolisian memantik perdebatan tentang batas antara ranah sipil dan aparat keamanan. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025, sebuah regulasi yang membentangkan karpet merah bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan di 17 kementerian dan lembaga negara.
Namun, langkah ini tidak berjalan mulus. Ia membentur sebuah tembok kokoh bernama putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara tegas telah membatasi praktik serupa. Benang kusut regulasi ini pun terurai, mempertanyakan kembali semangat reformasi Polri dan prinsip supremasi sipil.
Secara teknis, Perpol 10/2025 membuka pintu bagi perwira polisi untuk mengisi jabatan manajerial dan non-manajerial di lembaga-lembaga strategis, mulai dari Kemenko Polhukam, Kementerian Hukum, Badan Intelijen Negara (BIN), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Aturan ini berdalih bahwa penugasan tersebut dilakukan atas dasar permintaan instansi terkait dan memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian.
Namun, di sinilah letak persoalan utamanya. Mahkamah Konstitusi, melalui putusan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025, telah memberikan tafsir final dan mengikat terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam putusannya menegaskan bahwa norma hukumnya sudah sangat jelas.
"Secara substansial, kedua ketentuan tersebut menegaskan satu hal penting yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian," ujar Mansyur belum lama ini.
Putusan MK ini secara efektif menghapus kerancuan dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang sebelumnya menjadi celah bagi penugasan anggota aktif di luar struktur. Dengan kata lain, MK telah membangun pagar konstitusional yang tinggi untuk mencegah militerisasi atau polisi-nisasi jabatan sipil.
Perang Tafsir: Manuver Cerdas atau Pelanggaran Serius?
Baca Juga: Pengamat: Usulan Kapolri Dipilih Langsung Presiden Masuk Akal, DPR Justru Ganggu Check and Balances
Lahirnya Perpol ini sontak memicu reaksi keras dari berbagai ahli hukum dan pengamat. Mantan Ketua MK, Mahfud MD, menjadi salah satu suara paling vokal yang mengkritik kebijakan ini. Menurutnya, Perpol tersebut secara terang-terangan berlawanan dengan dua undang-undang sekaligus.
"Perkap Nomor 10 tahun 2025 itu bertentangan dengan dua Undang-Undang," tegas Mahfud.
Ia merujuk pada UU Kepolisian yang telah dikuatkan oleh putusan MK, serta UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Mahfud menekankan bahwa jika memang ada kebutuhan, aturannya harus diubah di level undang-undang melalui DPR, bukan sekadar peraturan internal.
"Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur," ujar Mahfud.
Namun, pandangan berbeda datang dari Indonesia Police Watch (IPW). Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, meminta publik melihat terbitnya Perpol ini tidak secara hitam-putih, melainkan dalam kacamata situasi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) yang dihadapi Polri pasca-putusan MK.
Menurut IPW, putusan MK menciptakan "guncangan" dan "ketidakpastian" bagi ribuan anggota Polri yang sudah terlanjur bertugas di luar institusi.
