- Era SBY membangun sistem penanganan bencana institusional melalui UU No. 24 Tahun 2007 dan BNPB pasca-Tsunami Aceh.
- Presiden Prabowo menunjukkan respons cepat dengan fokus eksekusi logistik taktis di lapangan menggunakan struktur yang ada.
- Perbedaan kunci terletak pada penetapan status bencana nasional, yang mempengaruhi alokasi anggaran dan dinamika narasi publik.
Suara.com - Kepulan asap dari 28 dapur umum yang memproduksi 100 ribu nasi bungkus setiap hari untuk korban banjir di Sumatra menjadi potret nyata respons cepat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebuah aksi logistik masif yang menunjukkan gaya kepemimpinan taktis di tengah bencana.
Namun, kecepatan ini memantik perdebatan yang lebih dalam, yakni bagaimana strategi ini jika dibandingkan dengan fondasi penanganan bencana yang dibangun di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Dua era, dua bencana besar sebagai titik uji, dan dua pendekatan yang secara fundamental berbeda dalam merespons tangis dan duka dari wilayah yang dilanda petaka.
Era SBY: Sang Arsitek yang Lahir dari Tragedi Tsunami
Indonesia sebelum 24 Desember 2004 adalah negara yang gagap menghadapi bencana. Responsnya cenderung sporadis, reaktif, dan bergantung pada belas kasihan.
Tragedi Tsunami Aceh yang merenggut ratusan ribu nyawa menjadi titik balik yang memaksa negara untuk berpikir ulang. Di bawah kepemimpinan SBY, paradigma penanganan bencana dirombak total.
Warisan terbesar SBY bukanlah sekadar bantuan, melainkan sistem. Lahirlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sebuah cetak biru yang mengubah bencana dari sekadar musibah menjadi urusan dan tanggung jawab negara.
Dari rahim regulasi inilah lahir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebuah lembaga komando yang hingga kini menjadi tulang punggung koordinasi bencana di Indonesia.
Pendekatan SBY bersifat metodis dan institusional. Ia membangun fondasi, membuat aturan main, dan membuka keran diplomasi bencana yang memungkinkan bantuan internasional masuk secara terstruktur saat Tsunami Aceh ditetapkan sebagai bencana nasional.
Baca Juga: Kayu Gelondongan Sisa Banjir Sumatra Mau Dimanfaatkan Warga, Begini Kata Mensesneg
Era Prabowo: Panglima Eksekusi di Garis Depan
Dua dekade kemudian, sistem yang dibangun SBY diuji oleh zaman. Di bawah komando Presiden Prabowo, respons bencana mengambil wujud yang berbeda, kecepatan eksekusi dan ketahanan logistik di lapangan.
Saat banjir dan longsor menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, fokus utama Prabowo adalah memastikan kebutuhan dasar korban terpenuhi secepat mungkin.
Perintahnya adalah dapur umum harus berdiri, logistik harus sampai, dan negara harus hadir dalam hitungan jam, bukan hari.
Mobilisasi Taruna Siaga Bencana (Tagana) di bawah Kementerian Sosial, serta pengerahan sumber daya TNI, menunjukkan pendekatan yang lebih mirip operasi militer: terpusat, cepat, dan berorientasi pada hasil di lapangan.
Prabowo tidak berfokus pada pembentukan lembaga baru, melainkan memaksimalkan instrumen yang sudah ada dengan gaya komando yang tegas.
Titik Kunci: Pilihan Status 'Bencana Nasional'

Perbedaan paling mendasar dari kedua era ini terletak pada keputusan penetapan status bencana. SBY memilih menetapkan Tsunami Aceh sebagai bencana nasional, sementara Prabowo, dalam kasus banjir Sumatra, tidak mengambil langkah tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, ini adalah pilihan strategis yang memiliki konsekuensi berbeda.
"Bagi saya, soal bencana nasional atau tidak itu pilihan lain dari masing presiden. Yang jelas pilihan dari sikap itu tentu ada untung dan ruginya," ujar Arifki kepada Suara.com, Jumat (19/12/2025).
Di zaman SBY, penetapan status bencana nasional untuk Tsunami Aceh mempercepat proses pemulihan secara masif dengan dukungan penuh anggaran pusat dan dunia internasional.
Hal itu berdampak langsung pada tingkat kepuasan publik yang melihat adanya perbaikan cepat dan berskala besar.
"Di zaman SBY karena menjadikan Tsunami Aceh sebagai bencana nasional proses recovery tentu lebih cepat," ucap Arifki.
Sebaliknya, di era Prabowo, keputusan untuk tidak menetapkan status bencana nasional untuk musibah di tiga provinsi sekaligus menciptakan dinamika baru.
Pemerintah ditantang untuk membuktikan bahwa tanpa status tersebut, penanganan tetap bisa berjalan efektif. Namun, pilihan ini membuka ruang bagi "pertarungan narasi" di ranah publik.
"Di era Prabowo... terjadi pertarungan narasi di ruang publik antara masyarakat yang ingin bencana nasional. Selain itu, ada juga influencer yang bergerak dalam pertarungan persepsi donasi dengan pemerintah," kata Arifki.
Pada akhirnya, pertarungan ini bukan sekadar soal label. Publik modern kini ikut mengawasi, membandingkan, dan bahkan menjadi alternatif penyaluran bantuan melalui gerakan-gerakan donasi yang digalang para influencer.
Pemerintah tidak hanya dituntut untuk bekerja cepat, tetapi juga harus mampu memenangkan kepercayaan publik di tengah riuhnya arus informasi.
Bagi masyarakat terdampak, perdebatan ini mungkin tidak terlalu penting. Yang mereka butuhkan adalah kepastian bantuan dan kecepatan pemulihan.
Sebagaimana disimpulkan Arifki, pada akhirnya yang terpenting adalah hasil akhir dari sebuah kebijakan.
"Asalkan kebijakan yang dibuat memberikan keuntungan terhadap masyarakat," katanya.
