Perumahan Tangguh Iklim, Kebutuhan Mendesak di Tengah Krisis Bencana Indonesia

Vania Rossa Suara.Com
Senin, 22 Desember 2025 | 15:24 WIB
Perumahan Tangguh Iklim, Kebutuhan Mendesak di Tengah Krisis Bencana Indonesia
Perumahan Tangguh Iklim, Kebutuhan Mendesak di Tengah Krisis Bencana Indonesia. (dok. Habitat for Humanity)
Baca 10 detik
  • Pembangunan perumahan tangguh iklim adalah kebutuhan nasional mendesak karena Indonesia sangat rawan bencana hidroklimatologi.
  • Diperkirakan tanpa adaptasi, perubahan iklim dapat merugikan ekonomi Indonesia hingga 2,87 persen dari PDB pada 2045.
  • Implementasi desain adaptif iklim dalam program pembangunan nasional memerlukan skema pembiayaan inklusif dan kerangka regulasi mendukung.

Suara.com - Perumahan yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim kini bukan lagi sekadar pilihan kebijakan, melainkan telah menjadi kebutuhan nasional yang mendesak bagi Indonesia. Sebagai salah satu negara paling rawan bencana di dunia, ancaman krisis iklim semakin nyata dan langsung menyentuh kehidupan masyarakat, khususnya kelompok rentan di permukiman informal.

Kementerian Kesehatan RI melalui Pusat Krisis Kesehatan mencatat hampir 80 persen bencana di Indonesia berkaitan dengan faktor hidroklimatologi, seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, kekeringan, angin puting beliung, hingga gelombang pasang dan badai. Dampak bencana ini tidak hanya merusak hunian, tetapi juga memukul kesehatan dan ekonomi masyarakat, terutama perempuan yang tinggal di kawasan rentan.

Ancaman tersebut diperparah oleh proyeksi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, menyebut tanpa langkah adaptasi yang serius, perubahan iklim berpotensi merugikan Indonesia hingga 2,87 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahun pada 2045.

Di tengah tantangan itu, perumahan dipandang sebagai sektor strategis dalam agenda adaptasi perubahan iklim. Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia, Handoko Ngadiman, menegaskan bahwa ketangguhan iklim dalam sektor perumahan adalah sebuah keharusan.

“Bagi keluarga besar Habitat for Humanity, perumahan tangguh iklim bukan lagi pilihan, tetapi keharusan,” ujar Handoko.

Ia menilai program pemerintah membangun tiga juta rumah per tahun merupakan peluang besar untuk memasukkan prinsip ketangguhan dan desain adaptif iklim ke dalam kebijakan nasional.

Namun, Handoko menekankan bahwa keberhasilan agenda tersebut sangat bergantung pada ketersediaan skema pembiayaan yang inklusif dan fleksibel.

Menurutnya, pembiayaan mikro serta peningkatan rumah secara bertahap penting agar masyarakat berpenghasilan rendah, rumah tangga yang dikepalai perempuan, dan kelompok rentan tidak tertinggal. Skema pembiayaan ini juga dibutuhkan untuk mendukung perbaikan rumah agar lebih adaptif terhadap perubahan iklim.

Urgensi integrasi kebijakan ini juga mengemuka dalam sebuah lokakarya yang mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, dimoderatori oleh Global Resilience Specialist dari RDI sekaligus Associate Professor ITB, Dr. Saut Sagala. Forum tersebut menyoroti pentingnya penyelarasan kebijakan adaptasi perubahan iklim lintas sektor.

Baca Juga: Hunian Sementara untuk Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun, Begini Desainnya

Dari hasil diskusi, terungkap bahwa ketahanan iklim di bidang perumahan sebenarnya telah dimandatkan dalam dokumen perencanaan nasional seperti RPJPN dan RPJMN, serta terhubung dengan sektor air, sanitasi, dan tata ruang hingga level rumah tangga. Namun, implementasinya di tingkat tapak dinilai masih belum konsisten, meski perumahan merupakan elemen kunci dalam agenda adaptasi nasional.

Salah satu pendekatan yang dinilai efektif adalah penerapan desain passive cooling berbasis kondisi lokal. Kajian di Desa Wunung, Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, menunjukkan bahwa desain rumah yang menyesuaikan iklim setempat mampu meningkatkan kualitas udara dan kesejukan hunian tanpa bergantung pada energi berlebih.

Koordinator Bidang Perumahan Kementerian PPN/Bappenas, Ira Lubis, menegaskan bahwa program pembangunan rumah nasional merupakan momentum strategis untuk memasukkan desain adaptif iklim ke dalam kebijakan pemerintah.

“Kita perlu memastikan adanya enabler berupa kerangka kerja dan regulasi yang mendukung keterjangkauan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, agar target hunian layak dan tangguh tahun 2030 dapat tercapai,” ujarnya.

Sementara itu, dari sisi mitigasi dan adaptasi, Kementerian Lingkungan Hidup menilai kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan. Staf Ahli Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim, Khairunnisa Destyany Qatrunnada, menyatakan bahwa upaya mengadaptasi bangunan terhadap perubahan iklim sekaligus berkontribusi dalam pengurangan emisi.

“Kami mendukung langkah-langkah teknis seperti penggunaan material rendah karbon dan sistem drainase yang lebih baik untuk menjaga kohesi komunitas di lokasi asli mereka,” katanya.

Pandangan serupa disampaikan Prof. Ir. Suparwoko dari Universitas Islam Indonesia, yang menekankan pentingnya panduan teknis perumahan adaptif yang kontekstual, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana akibat perubahan iklim, perumahan tangguh iklim menjadi fondasi penting dalam melindungi keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan hidup masyarakat. Tanpa integrasi kebijakan, desain adaptif, serta pembiayaan yang inklusif, target hunian layak dan aman di tengah krisis iklim berisiko sulit tercapai.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI