Diskusi Buku Dibubarkan, Guru Besar UII Sebut Aparat Anti Sains dan Mengancam Demokrasi

Senin, 22 Desember 2025 | 17:16 WIB
Diskusi Buku Dibubarkan, Guru Besar UII Sebut Aparat Anti Sains dan Mengancam Demokrasi
Salah satu penulis Reset Indonesia, Dandhy Laksono, di lokasi diskusi yang dibubarkan aparat pemerintah dan kepolisian di Madiun. [Istimewa]
Baca 10 detik
  • Pembubaran diskusi buku "Reset Indonesia" di Madiun pada 20 Desember 2025 dikritik akademisi sebagai kemunduran demokrasi.
  • Pembatasan diskusi mencerminkan mentalitas aparat yang memusuhi ilmu pengetahuan, bertentangan dengan hak konstitusional warga.
  • Tindakan represif ini mengancam kebebasan berekspresi dan berpotensi melemahkan fungsi kontrol publik dalam sistem demokrasi.

Suara.com - Pembubaran diskusi dan bedah buku Reset Indonesia di Pasar Pundensari, Desa Gunungsari, Kecamatan Madiun, Kabupaten Madiun, Sabtu malam (20/12/2025), menuai kritik dari kalangan akademisi.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Masduki menilai tindakan aparat tersebut mencerminkan kemunduran demokrasi.

Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) itu menilai pembubaran diskusi tersebut menunjukkan masih kuatnya cara pandang aparat keamanan yang memusuhi ilmu pengetahuan. Menurutnya, negara justru melihat produksi dan distribusi pengetahuan sebagai sesuatu yang membahayakan.

“Ada kecenderungan pemerintah, khususnya aparat keamanan—baik TNI maupun Polri—yang bersikap anti-sains dan anti-pengetahuan,” kata Masduki saat dihubungi, Senin (22/12/2025).

Masduki menyampaikan bahwa kekhawatiran aparat terhadap diskusi buku merupakan bentuk salah kaprah dalam memaknai kegiatan ilmiah. Padahal, diskusi semacam itu merupakan bagian dari hak warga negara untuk memperoleh dan menyebarkan pengetahuan.

Ia menegaskan bahwa menulis dan mendiskusikan buku adalah hak konstitusional warga negara yang sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Oleh sebab itu, pelarangan diskusi dinilai bertentangan dengan mandat konstitusi.

Selain soal ilmu pengetahuan, Masduki menilai pembubaran diskusi juga menjadi ancaman serius bagi kebebasan berekspresi. Ia menyebutkan bahwa menyampaikan pendapat dan kritik melalui buku maupun diskusi merupakan aktivitas yang dijamin undang-undang.

“Itu sebetulnya kegiatan biasa orang menyampaikan pendapat, menyampaikan kritik, baik lewat buku maupun lewat diskusi,” ujarnya.

Baca Juga: Imbas Safrie Ramadhan Diduga Selingkuhan Julia Prastini, Akun IG UII Yogyakarta Diserbu Netizen

Ia turut menyoroti pelarangan terhadap Dandhy Laksono sebagai penulis sekaligus narasumber diskusi. Menurutnya, pembatasan terhadap aktivis kritis dan pembubaran forum diskusi merupakan tindakan berlebihan yang tidak berdasar.

“Forum diskusinya itu diadakan oleh warga setempat dengan niat untuk membagikan pengetahuan, bukan untuk makar. Tidak ada itu. Terlalu jauh,” tegasnya.

Pola pembatasan tersebut mengingatkan pada praktik represif di era Orde Baru yang seharusnya sudah ditinggalkan setelah reformasi. Namun, kata Masduki, mentalitas semacam itu masih bertahan di sebagian aparat.

“Ini formula represi yang sudah terjadi sejak zaman Orde Baru,” tandasnya.

Pembubaran diskusi maupun bentuk tindakan represif lain berpotensi menimbulkan ketakutan di masyarakat untuk menyampaikan kritik dan aspirasi kepada negara.

Jika kondisi itu terus dibiarkan, fungsi kontrol publik dalam demokrasi akan melemah.

“Ini akan meningkatkan fear of criticism,” ujarnya.

Jika keberanian warga untuk bersikap kritis hilang, kondisi tersebut justru akan berdampak buruk bagi sistem demokrasi. Masyarakat, kata dia, berisiko kehilangan peran sebagai pengawas kekuasaan ketika ruang diskusi dan kebebasan berekspresi terus dibatasi.

“Bayangkan kalau sikap kritis ini tidak ada lagi di warga negara kita. Maka kita kehilangan satu fungsi penting dalam sistem demokrasi, yaitu fungsi kontrol,” pungkasnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI