Riset DIR: Banjir Sumatra dan Aceh Bergeser Jadi Krisis Legitimasi dan Ancaman Stabilitas Nasional

Jum'at, 26 Desember 2025 | 11:38 WIB
Riset DIR: Banjir Sumatra dan Aceh Bergeser Jadi Krisis Legitimasi dan Ancaman Stabilitas Nasional
Foto udara Sejumlah warga korban bencana yang terisolir melintasi Daerah Aliran Sungai (DAS) lewat jembatan tali darurat penghubung dari Desa Bergang Kecamatan Ketol, Aceh Tengah dan Desa Simpang Rahmat, Gajah Putih, Bener Meriah, Aceh, Minggu (14/12/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nz]
Baca 10 detik
  • Kajian DIR periode November-Desember 2025 terhadap banjir Sumbar, Sumut, dan Aceh menunjukkan transformasi isu menuju krisis legitimasi dan stabilitas nasional.
  • Mayoritas pemberitaan media arus utama positif, namun sentimen negatif muncul karena isu keterlambatan dan ketidakmerataan distribusi bantuan pascabencana.
  • Temuan mengkhawatirkan adalah munculnya narasi disintegrasi politik seperti kata kunci "Merdeka" di wilayah Aceh dan Nias akibat rasa terabaikan.

Suara.com - Lembaga riset Deep Intelligence Research (DIR) merilis hasil pemantauan media terkait bencana banjir yang melanda wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh selama satu bulan terakhir. 

Hasil kajian periode 25 November hingga 24 Desember 2025 tersebut menunjukkan adanya transformasi risiko yang serius, di mana isu bencana mulai bergeser ke arah krisis legitimasi dan ancaman stabilitas nasional.

Berdasarkan analisis terhadap lebih dari 11 ribu media online, 200 media cetak, dan 93 media elektronik menggunakan kecerdasan buatan, mayoritas pemberitaan media arus utama (mainstream) memang masih didominasi tone positif sebesar 69 persen yang berfokus pada manajemen krisis. 

Namun, DIR memberikan peringatan terkait munculnya 28 persen sentimen negatif yang dipicu oleh isu keterlambatan bantuan dan dampak pasca-bencana.

Direktur Komunikasi Deep Intelligence Research (DIR), Neni Nur Hayati menyatakan, puncak pemberitaan terjadi pada 1 Desember 2025 yang didominasi sentimen negatif selaras dengan masa darurat awal.

“Pasca 5 Desember, narasi positif mulai menyalip, didorong oleh publikasi masif mengenai penyaluran bantuan dan upaya pemulihan. Namun, muncul anomali pada 19 Desember, di mana sentimen negatif kembali melonjak tajam. Hal ini disebabkan banyak pemberitaan mengenai belum meratanya bantuan dan update keadaan korban terutama di wilayah yang paling terisolir,” tutur Neni dalam rilis yang diterima Suara.com dikutip Jumat (25/12/2025).

Data DIR mencatat total cakupan media mencapai 30.489 pemberitaan dari ribuan media lokal, nasional, hingga internasional. Sementara di ranah media sosial, intensitas percakapan jauh lebih masif dengan total interaksi mencapai lebih dari dua juta percakapan dari 28.100 netizen.

“Interaksi tertinggi ada di platform Instagram dan tiktok. Interaksi di Tiktok mencapai 939.289 dan pada Instagram 909.837 intensitas percakapan. Data tadi menunjukkan percakapan soal bencana sangat viral di kedua platform itu,” tambah Neni.

Kajian DIR memetakan tiga klaster utama yang mendominasi ruang publik. Pertama, klaster kemanusiaan terkait kondisi korban. Kedua, klaster gugatan sistemik yang menyoroti eksploitasi hutan dan tambang sebagai penyebab bencana, diperkuat dengan temuan kayu gelondongan di lokasi banjir. 

Baca Juga: Kayu Hanyutan Banjir Disulap Jadi Rumah, UGM Tawarkan Huntara yang Lebih Manusiawi

Ketiga, klaster eskalasi politik yang mengkritik tajam otoritas pemerintah terkait keterlambatan penanganan dan kurangnya empati.

Temuan yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya riak-riak politik di wilayah terdampak yang merasa terabaikan.

“Hal yang patut mendapat perhatian kita adalah munculnya narasi disintegrasi seperti kata kunci ‘Merdeka’ di wilayah Aceh dan Nias sebagai bentuk protes atas abainya pemerintah pusat. Hal ini menandakan bencana telah bertransformasi menjadi alat tawar politik yang berpotensi mengancam stabilitas nasional,” katanya.

Menyikapi temuan tersebut, Deep Intelligence Research (DIR) mengeluarkan empat rekomendasi strategis bagi pemerintah:

Akselerasi Status dan Kehadiran Simbolis: Segera menetapkan status bencana nasional untuk meredam kekecewaan di Aceh dan Nias, serta menghadirkan pejabat tinggi di lokasi guna menunjukkan empati negara.

Transparansi dan Penegakan Hukum: Melakukan investigasi terbuka dan audit terhadap 31 perusahaan sektor ekstraktif di Sumatra yang diduga memicu bencana ekologis, serta mengumumkan hasil investigasi temuan "kayu gelondongan".

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI