- Partai Islam alami kemunduran pasca Pemilu 2024, dengan PPP gagal lolos ambang batas parlemen.
- PKB, PAN, dan PKS pilih strategi realistis-pragmatis dengan bergabung ke pemerintahan.
- Tantangan utama partai Islam: regenerasi kepemimpinan, relevansi isu publik, dan soliditas internal.
Suara.com - Partai-partai berbasis Islam di Indonesia menghadapi tantangan berat pasca Pemilu 2024. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terlempar dari Senayan.
Partai warisan Orde Baru ini gagal melampaui ambang batas parlemen, menyisakan kekecewaan di kalangan konstituen loyalnya.
Kini, lebih dari setahun pasca-pilpres, peta politik semakin mengerucut pada tantangan untuk meningkatkan keterwakilan mereka di parlemen pada Tahun 2029.
Di Tahun 2024, jumlah partai berbasis Islam di DPR menyusut drastis. Hanya tersisa tiga pemain, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Realitas politik terkini menunjukkan reaksi partai-partai berbasis Islam yang mudah ditebak. Ketiga partai Islam di DPR (PKB, PAN, dan PKS) kompak berlabuh di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran, menikmati insentif kekuasaan.
PKS, yang lama dikenal sebagai oposisi vokal mulai dari 2014, akhirnya bergabung dengan koalisi pemerintah.
Dukungannya itu diganjar dengan satu kursi menteri meskipun bukan dari kader partai, yakni Prof Yassierli sebagai Menteri Ketenagakerjaan.
Sementara itu, di luar parlemen, PPP masih sibuk berkonsolidasi melalui Muktamar 2025 sebagai ajang krusial untuk merebut kembali marwah politik umat.
Walaupun harus melalui drama konflik antar-elite yang klise, mereka akhirnya bersepakat untuk berlayar di bawah Mardiono sebagai nakhoda.
Baca Juga: Ironi di Muktamar X PPP; Partai Islam Ricuh, Waketum: Bagaimana Mau Mendapat Simpati Umat?
Penyusutan partai-partai Islam di DPR bukanlah peristiwa yang tiba-tiba. Gejala penurunan kinerja elektoral telah nampak pasca Reformasi.
Puncaknya di Pemilu 2024, gabungan suara PKB, PKS, dan PAN hanya berkisar 26,26 persen yang menandakan makin menyusutnya keterwakilan konstituen partai berbasis Islam di parlemen.

Setidaknya terdapat tiga kelemahan kronis yang menggerogoti partai-partai ini.
Pertama, kegagalan membuktikan kinerja. Partai Islam cenderung kuat saat situasi ekonomi sulit, di mana jargon spiritualitas laku dijual. Namun, saat ekonomi pulih, pemilih rasional beralih ke partai nasionalis yang dianggap lebih kompeten.
Kedua, konflik internal yang akut. Partai-partai ini seolah tidak pernah belajar dari perpecahan. PPP, PKS, dan PAN telah mengalami fragmentasi hebat dalam satu dekade terakhir. Friksi elite yang tak berkesudahan ini mendegradasi integritas partai di mata pemilih.
Ketiga, dilema antara ideologi, pakem-pakem primordial konstituen, dan pragmatisme. Mereka kesulitan mengemas gagasan religius dan kepentingan basis konstituen dalam kerangka politik modern.
Akibatnya, mereka sering terjebak. Terlalu kaku untuk pemilih moderat, tetapi kurang militan bagi pemilih ideologis.
Bertahan dalam Strategi Realistis-Pragmatis
Langkah pasca-pemilu dari ketiga partai berbasis Islam di Senayan menunjukkan satu pilihan yang sama, yakni realistis-pragmatis.
PKB, meski sempat berseberangan di pilpres, membuktikan kecanggihan strategi elektoralnya. Manuver taktis menempatkan Cak Imin sebagai cawapres sukses mengamankan 10,61 persen suara.
Tidak butuh waktu lama, PKB kembali ke koalisi pemerintah. Pilihan pragmatis ini adalah cara PKB untuk 'menyelamatkan diri' sekaligus memastikan mereka tetap exsist di panggung utama.
Hal serupa dilakukan PAN. Strategi 'merekrut artis' dan gimmik kreatif 'PAN... PAN... PAN' terbukti efektif menggaet pemilih muda.
PAN juga cerdik menjauhkan diri dari label 'partai Islam' dan memilih identitas 'nasionalis-religius.'
Keberhasilan mereka mengamankan kursi di pemerintahan adalah buah dari konsistensi adaptasi ini.
Yang paling mengejutkan adalah manuver PKS. Partai yang selama satu dekade memantapkan diri sebagai kekuatan oposisi ini akhirnya balik badan.
Dengan bergabung ke pemerintahan Prabowo, partai ini memberi sinyal jelas bahwa era politik ideologis kaku telah usai.
PKS kini memilih jalan yang sama dengan PKB dan PAN, mengamankan pengaruh dan insentif melalui kekuasaan. Meski dengan catatan, ada kekecewaan dari sebagian basis massanya.
Tantangan bagi ketiganya kini serupa. Mereka harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar 'penumpang' di kabinet.
Langkah pasca-pemilu dari ketiga partai berbasis Islam di Senayan menunjukkan satu pilihan yang sama, yakni realistis-pragmatis.
Mereka mesti mampu memberikan kinerja nyata yang merepresentasikan aspirasi basis mereka, sekaligus membuktikan bahwa pilihan pragmatis dapat membawa manfaat lebih besar daripada sekadar bertahan di luar kekuasaan.
Prospek dan Tantangan
Bagaimana nasib mereka di pemilu mendatang? Partai berbasis Islam tidak akan sepenuhnya punah dari demokrasi elektoral Indonesia.
Fungsi representasi kelompok primordial dari kalangan Islam masih dibutuhkan. Namun, tantangannya semakin berat: minim figur populer, perpecahan internal yang masih membayangi, dan perlu pembuktian kinerja yang diapresiasi masyarakat.
Sebagai penutup, ada tiga agenda mendesak yang harus dijawab partai Islam jika ingin relevan di Pemilu 2029.
Agenda pertama adalah regenerasi komprehensif. Upaya ini bukan sekadar mengganti figur.
Kasus PPP dengan konflik suksesi berturut-turut adalah pelajaran pahit. Muktamar 2025 mendatang harus menjadi momentum regenerasi ide dan kepemimpinan secara substantif, bukan sekadar ajang rekonsiliasi elite lama.
Kedua, relevansi isu. Isu-isu agama tidak lagi menjadi pertimbangan utama mayoritas pemilih.
Kini setelah semua bergabung dengan pemerintah, mereka harus mampu merespons isu publik yang paling mendesak: ekonomi, lapangan kerja, keadilan sosial, dan krisis iklim.
Mereka harus menawarkan solusi konkret, bukan sekadar ikut menikmati kekuasaan.
Ketiga, soliditas kelembagaan partai. Hentikan drama konflik internal. Publik muak dengan elite politik yang gemar bertikai.
Tanpa soliditas, partai akan terus rentan terhadap intervensi eksternal yang pada akhirnya mengamankan eksistensi partai itu sendiri.
Jika ketiga tantangan ini gagal dijawab, partai-partai Islam hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah. Mereka akan tetap hadir di surat suara, namun kehilangan daya tarik di hati pemilih.
Ari Ganjar Herdiansah
Peneliti Pusat Studi Politik dan Demokrasi FISIP Unpad