- Banyaknya peminat menjadi polisi didorong motivasi status sosial tinggi, peta karier jelas, dan teori "menumpang hidup" pada organisasi besar.
- Profesi kepolisian lebih mengutamakan keterampilan hukum dan teknis daripada keterampilan sosial yang dibutuhkan saat berhadapan publik.
- Reformasi diperlukan agar kepolisian lebih fokus pada pencegahan melalui penguatan keterampilan sosial, bukan penegakan hukum represif.
Suara.com - Bicara tentang manusia kepolisian, maka berarti bicara tentang motivasi menjadi polisi. Menarik melihat animo masyarakat menjadi polisi yang begitu besar, di tengah banyaknya sorotan terhadap kepolisian.
Sadar bahwa kepolisian adalah organisasi besar, kuat dan mapan di negeri ini, maka saya menduga kuat bekerjanya Teori “Menumpang Hidup” pada siapapun yang ingin menjadi polisi.
Bagi yang mengenal Budaya Kerja di kepolisian, maka menjadi polisi juga semakin menarik.
Organisasi besar berarti anggaran besar serta infrastruktur besar.
Di benak semua orang yang mau menjadi polisi, demikian pula bagi orang yang sudah berada di dalam, nampaknya bekerja Teori “Semut Makan Remah Roti”.
Berbeda dengan beberapa profesi dimana pemilik profesi tidak ingin anaknya mengikuti jejaknya, pada seorang polisi justru amat ingin terjadi regenerasi walau biasa meretorikakan bahwa hidup polisi itu susah dan tantangan kerjanya berat.
Itu biasa terjadi pada profesi yang dianggap membanggakan karena secara sosial, memiliki status tinggi, menjanjikan memiliki peta karier jelas dan memiliki fungsi dukungan sosial (“bisa membantu kalau ada apa-apa”).
Secara umum, profesi polisi memunculkan ratusan pekerjaan yang lalu memunculkan ratusan tugas dan jabatan yang rata-rata human-heavy yang sebenarnya lebih membutuhkan social skill, kemudian disusul legal skill dan terakhir, technical skill.
Semuanya dibungkus dengan gaya kerja paramiliter yang menekankan kepatuhan dan stratifikasi kerja yang tegas. Ini saja sudah berpotensi paradoks mengingat gaya kerja paramiliter cenderung menekan social skill seseorang.
Baca Juga: Wamen KP hingga Menteri Ngaku Terbantu dengan Polisi Aktif di Kementerian: Pengawasan Jadi Ketat
Dalam praktik di lapangan, social skill yang utamanya diperlukan dalam rangka menghadapi publik tidak menjadi tekanan utama setiap pekerjaan dalam organiasi kepolisian.
Social skill hanya diaktifkan pada tugas-tugas tertentu dan pangkat-pangkat tertentu dan, secara umum, mengalami derogasi makna dan kegunaan (dianggap sebagai low skill dan tidak penting).
Malah, yang kemudian secara merata muncul adalah legal skill. Dengan makin baiknya infrastruktur kepolisian, maka semakin banyak pula anggota kepolisian yang terasah technical skill-nya.

Saat skill tersebut menjadi perspektif dan lama-lama menjadi budaya kerja, maka pada saat itulah kepolisian bergeser, dari yang awalnya menjadi pemelihara keamanan dan ketertiban menjadi penegak hukum.
Pekerjaan sebagai penegak hukum jauh lebih disukai oleh kalangan kepolisian karena bersifat mengaktifkan kewenangan dan lebih sesuai dengan citra sosiologis polisi.
Situasi itu tidak ditangkap dalam Rekrutmen Kepolisian yang senantiasa massal dan menekankan kebugaran fisik, namun pada saat yang sama dipenuhi dengan harapan memperoleh calon yang memiliki social skill tinggi, padahal nantinya tidak banyak diperlukan saat bertugas.