Menolak Pasien Adalah Pelanggaran Kemanusian dan Hak Asasi Pasien

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Kamis, 27 November 2025 | 15:04 WIB
Menolak Pasien Adalah Pelanggaran Kemanusian dan Hak Asasi Pasien
Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi. (Suara.com/ dok. Pribadi)
Baca 10 detik
  • Seorang ibu bernama Irene Sokoy meninggal bersama bayinya setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Kota Jayapura, Papua.
  • Penolakan rumah sakit melanggar aspek kemanusiaan, konstitusi, dan regulasi kesehatan yang berlaku di Indonesia.
  • Pelanggaran penolakan pasien ini dapat berimplikasi pada sanksi administratif, tuntutan keperdataan, hingga potensi delik pidana bagi pihak RS.

Suara.com - Sungguh ironis bahkan tragis atas meninggalnya seorang pasien, yakni seorang ibu dan bayi didalam kandungannya, gegara ditolak oleh rumah sakit (RS).

Tidak hanya di satu RS, Irene Sokoy ditolak di 4 rumah sakit di Kota Jaya Pura, Provinsi Papua.

Salah satu rumah sakit menerima pasien, asal pasien tersebut membayar uang muka dulu sebesar Rp 4 juta, dengan alasan kamar untuk pasien BPJSK Kesehatan sudah habis.

Kasus tersebut ironis. Bahkan tragis, baik pada konteks kemanusiaan, konstitusi dan atau eksisting regulasi.

Pelayanan kesehatan basisnya adalah kemanusiaan. Jadi siapa pun, baik secara profesional dan atau institusional, tidak boleh menolak pasien yang meminta pertolongan dan pengobatan. Apalagi jika pasien tersebut terancam jiwanya jika tidak ditolong.

Terhadap kasus pasien di Jayapura tersebut, maka seharusnya pihak RS menolong pasien dulu dengan pertolongan pertama, karena keselamatan pasien (patient safety) harus menjadi prioritas utama dan pertama.

Jadi keempat RS di Jayapura sehingga berdampak meninggal dunia, adalah pelanggaran kemanusiaan.

Selain itu, pada konteks eksisting regulasi, bahwa menolak pasien adalah melanggar UU No. 17/2024 tentang Kesehatan dan PP 28/2024 tentang Kesehatan. Pelanggaran tersebut bisa berdimensi pada 3 hal, yakni pelanggaran administratif, pelanggaran keperdataan, dan pelanggaran pidana.

Pada perspektif administratif, pelanggaran RS di Jayapura yang menolak pasien bisa dicabut ijin operasional, baik oleh Kemenkes dan atau Pemprov/Pemkot Jayapura.

Baca Juga: Ibu Hamil Meninggal di Jayapura, Kemenkes Usut Dugaan Penolakan di 4 Rumah Sakit

Pada perspektif keperdataan, tenaga kesehatan dan pihak RS di Jayapura, bisa dituntut untuk memberikan ganti rugi kepada pasien dan atau keluarga pasien.

Dan pada konteks pidana, tindakan yang dilakukan oleh RS di Jayapura tersebut, bisa dikategorikan delik pidana. Pihak kepolisian bisa melakukan tindakan pro justitia/penyelidikan, atas dugaan pidana tersebut. Dan kasus ini bukan kasus pidana/delik aduan, jadi polisi tidak perlu menunggu aduan dari korban/keluarga pasien.

Langkah Kemenkes yang akan melakukan investigasi terhadap kasus tersebut, adalah langkah benar.

Ibu hamil bernama Irene Sokoy meninggal dunia setelah ditolak 4 rumah sakit di Jayapura. (Foto dok. Ist)
Ibu hamil bernama Irene Sokoy meninggal dunia setelah ditolak 4 rumah sakit di Jayapura. (Foto dok. Ist)

Kemenkes harus menemukan kasus pelanggaran tersebut dari sisi pidana, administratif dan keperdataan. Kemenkes jangan ambigu dalam menerapkan sanksi.

Bahkan kalau perlu Kemenkes melakukan tindakan investigasi yang meluas, artinya bukan hanya RS di Jayapura saja. Sebab patut ditengarai bahwa fenomena kasus serupa juga terjadi di daerah lain.

Kemenkes harus meningkatkan pengawasan kepada seluruh rumah sakit di Indonesia bersinergi dengan Dinkes setempat dan asosiasi profesi kesehatan dan lembaga konsumen, khususnya pada RS tipe D.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI