Pola yang sama juga berlaku ketika Eropa memperbarui standar emisi Euro 5 mulai 2009 berbarengan dengan standar bahan bakar 2003/17/EC. Peraturan tersebut secara signifikan menurunkan kadar sulfur menjadi 10 ppm dan melarang penjualan bensin dengan nilai oktan di bawah 91, untuk mengakomodasi perkembangan teknologi kendaraan.
Standar bahan bakar Euro juga dirancang untuk membatasi beberapa zat yang dianggap menjadi prekursor (pemantik) emisi beracun seperti benzena, dan hidrokarbon aromatik. Riset menemukan kandungan kedua zat ini pada bahan bakar mempengaruhi emisi benzena yang bersifat karsinogenik alias zat yang memicu kanker.
Pemerintah pun tak boleh berpuas diri dengan standar Euro 4. Harus ada strategi jangka menengah untuk naik kelas ke standar Euro 5 hingga Euro 6. Langkah ini akan menunjang target Indonesia untuk mencapai kondisi bebas emisi pada 2060.
Perbaikan standar emisi tidak hanya memaksa produsen kendaraan untuk memasarkan kendaraan dengan gas buang yang lebih baik. Tetapi juga perusahaan migas, termasuk Pertamina, untuk menaikkan kualitas bahan bakarnya agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan lingkungan.
Tanpa rencana untuk berubah, ditambah dengan laju penjualan kendaraan berbasis BBM yang terus meningkat, sektor transportasi akan bertahan menjadi penyumbang besar polusi udara terutama di kota-kota besar.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.