Suara.com - Muhammad Hida Lazuardi, peneliti pada Indonesian Center for Environmental Law, menilai penghapusan premium dan pertalite tidak cukup untuk menekan emisi karbon. Aturan standar kualitas BBM di Indonesia harus dirombak karena sudah usang.Berikut ulasannya:
Pemerintah pada bulan lalu mengumumkan rencana penghapusan premium dan pertalite di Pulau Jawa dan Sumatera pada 2022. Sayang, setelah menuai kontroversi di publik, rencana tersebut langsung dianulir.
Ini merupakan kegagalan berulang setelah wacana serupa sempat direkomendasikan Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2014.
Premium dan pertalite adalah dengan bensin bernilai oktan rendah. Nilai oktan bensin premium bahkan masih mengacu pada standar bahan bakar Euro 2 yang sudah ditinggalkan Eropa sejak 20 tahun lalu.
Standar Euro mengatur emisi gas buang kendaraan, seperti karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan nitrogen oksida (NOx), dan partikulat, yang membahayakan lingkungan.
Komitmen Indonesia menekan emisi semestinya sejalan dengan upaya memperketat standar kualitas BBM. Standar tersebut amat berguna untuk dua hal: pembakaran BBM berkualitas tinggi yang lebih bersih, serta memungkinkan penggunaan kendaraan kendaraan dengan standar emisi yang lebih baik.
Aturan standar kualitas BBM dan emisi kendaraan harus selaras
Buruknya kualitas BBM saat ini bermuara pada kebijakan standar emisi kendaraan yang tidak sinkron dengan standar bahan bakar. Di Indonesia, pengaturan kualitas BBM adalah kewenangan Direktorat Jenderal Migas ESDM. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatur standar emisi gas buang kendaraan bermotor.
Dalam hal standar emisi kendaraan, KLHK mewajibkan emisi kendaraan roda dua harus sesuai standar Euro 3 berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan No. 23 Tahun 2012. Sedangkan kendaraan bensin roda empat, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan No. 20 Tahun 2017, mesti berstandar Euro 4..
Namun, Direktorat Jenderal Migas justru masih mengatur kualitas bensin dengan standar yang lebih buruk dibandingkan di standar emisi kendaraan versi KLHK.
Misalnya, kandungan sulfur bensin premium dan pertalite masih dibolehkan mencapai 500 parts per million (ppm).
Pembatasan kandungan sulfur yang sama juga berlaku bagi bensin oktan 91 dan 95. Padahal, kedua BBM itu dianggap lebih berkualitas dibanding pertalite atau premium yang bernilai oktan lebih rendah.
Kandungan sulfur 500 ppm tersebut jauh di bawah standar BBM untuk kebutuhan kendaraan dengan standar emisi Euro 3 maupun Euro 4, masing-masing maksimum 150 ppm dan 50 ppm.
Patut dicatat bahwa sulfur adalah salah satu kandungan yang disorot khusus dalam kebijakan standar bahan bakar Euro. Sebab, berdasarkan berbagai kajian yang terangkum di standar tersebut, kandungan ini mempengaruhi emisi secara langsung serta merusak kemampuan sistem pengendalian emisi kendaraan.
Kebijakan yang tak selaras ini mesti diakhiri. Kementerian ESDM seharusnya merombak standar kualitas BBM agar sesuai kebutuhan kendaraan dengan standar emisi kendaraan versi KLHK.