Suara.com - Sebuah kehebohan muncul di media sosial ketika video pengawalan mobil mewah Lexus hitam oleh kendaraan patroli pengawal (Patwal) menjadi viral. Kendaraan yang diduga milik Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ini memicu perdebatan publik bukan hanya karena pengawalan istimewanya, tetapi juga karena terungkapnya fakta mengejutkan terkait status pajak kendaraan tersebut.
Video yang diunggah oleh akun X @NenkMonica menampilkan sebuah Lexus LX600 4X4 AT bernomor polisi B 2600 SME melaju dengan leluasa di tengah kepadatan lalu lintas, mendapat perlakuan khusus layaknya kendaraan pejabat tinggi negara.
Namun, yang menarik perhatian publik adalah ketika data kendaraan tersebut terungkap ke permukaan, menunjukkan adanya tunggakan pajak yang cukup signifikan.

Berdasarkan data resmi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta per 19 April 2025, kendaraan mewah tersebut tercatat sebagai Lexus LX600 4X4 AT keluaran tahun 2022 dengan nilai jual mencapai Rp 1,924 miliar.
Mobil berwarna hitam metalik ini menggunakan plat nomor putih dan ditenagai mesin berkapasitas 3.445 CC berbahan bakar bensin.
Meskipun STNK kendaraan masih berlaku hingga 19 Januari 2029, status pajak kendaraan ini telah melewati masa jatuh tempo sejak 19 Januari 2025.

Rincian tunggakan pajak yang harus dibayarkan cukup mencengangkan. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pokok sebesar Rp 40.404.000 ditambah denda PKB Rp 1.212.200.
Belum lagi ada tambahan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) sebesar Rp 143.000 dan dendanya Rp 35.000. Total keseluruhan yang harus dilunasi mencapai Rp 41.794.200.
Kontroversi ini semakin menarik mengingat status Dedi Mulyadi sebagai tokoh publik dan pejabat pemerintahan.
Baca Juga: Tak Ada Mobil Lexus RI 36 di Laporan Kekayaan Raffi Ahmad, Ke Mana?
Sebagai figur yang seharusnya memberikan teladan dalam kepatuhan terhadap aturan dan kewajiban administratif, termasuk pembayaran pajak kendaraan, situasi ini menimbulkan berbagai pertanyaan dari masyarakat.
Penggunaan fasilitas pengawalan Patwal untuk kendaraan yang status pajaknya tidak aktif juga menjadi sorotan tersendiri.
Fenomena ini membuka diskusi lebih luas tentang kesadaran pajak di kalangan pejabat publik dan penggunaan fasilitas negara.
Masyarakat mempertanyakan bagaimana sebuah kendaraan mewah senilai hampir 2 miliar rupiah bisa mendapatkan pengawalan khusus sementara status pajaknya tidak aktif. Hal ini juga memunculkan perdebatan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan fasilitas negara.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya kepatuhan pajak sebagai salah satu bentuk kontribusi warga negara terhadap pembangunan. Terlepas dari status sosial atau jabatan, kewajiban membayar pajak kendaraan bermotor merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Tunggakan pajak, sekecil apapun nilainya, dapat mempengaruhi pendapatan daerah yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
Viralnya kasus ini juga menunjukkan peran aktif media sosial dan masyarakat dalam mengawasi perilaku pejabat publik.