Suara.com - Bagi generasi milenial yang tumbuh di era 90-an dan awal 2000-an, nama Suzuki Shogun bukanlah sekadar motor bebek biasa. Ia adalah simbol kecepatan, inovasi, dan status.
Dari "Shogun Kebo" yang ikonik hingga Shogun SP yang sporty, motor ini pernah merajai jalanan dan menjadi idola anak muda. Namun, seperti sebuah dinasti, kejayaannya harus berakhir.
Suzuki, sebagai pabrikan yang dikenal dengan "inovasi tiada henti," justru menyuntik mati salah satu produk terbaiknya. Pertanyaannya, mengapa motor yang sarat dengan teknologi dan performa di zamannya ini harus turun takhta?
Apakah benar Shogun tidak laku? Mari kita bedah 5 alasan utama di balik keputusan pahit ini.
Masa Kejayaan: Saat Shogun Mendobrak Batasan
Sebelum membahas kejatuhannya, penting untuk mengingat betapa superiornya Shogun di masa jayanya.
1. Shogun 110 (1995):

Dijuluki "Shogun Kebo" karena bodinya yang besar dan solid, motor ini adalah sebuah anomali.
Saat kompetitor masih berkutat di mesin 97cc, Shogun berani tampil dengan mesin 4-tak 110cc.
Baca Juga: Mengenal Karakter Dapur Pacu Suzuki Fronx yang Tawarkan Performa dan Efisiensi
Hasilnya? Tenaga sebesar 9,8 PS, bahkan lebih tinggi dari Honda Supra X 125 generasi selanjutnya (9,3 PS).
2. New Shogun 110 (1999):

Dengan desain yang lebih ramping dan modern, varian ini sukses besar di pasaran dan menjadi penantang serius bagi dominasi Honda.
Keberanian Suzuki dalam menetapkan standar baru inilah yang membuat nama Shogun begitu melegenda. Namun, roda persaingan terus berputar, dan tak selamanya Shogun berada di atas.
Mengapa Sang Raja Bebek Harus Turun Takhta?
Keruntuhan Shogun bukanlah proses semalam. Ia merupakan akumulasi dari berbagai faktor, mulai dari persaingan hingga strategi internal yang kurang tepat.