Gelar Lokakarya Internasional Virtual, IGI Soroti Kelaparan Tersembunyi

Rabu, 24 Maret 2021 | 14:38 WIB
Gelar Lokakarya Internasional Virtual, IGI Soroti Kelaparan Tersembunyi
Lokakarya Internasional IGI. (Dok. IGI)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Lokakarya ini juga menjadi tempat diskusi tentang fortifikasi pangan yang wajib dan biofortikasi sebagai komponen dari program giizi nasional untuk memperbaiki status gizi kelompok miskin seperti yang terutama diindikasikan oleh penurunan stunting.

Teknologi fortifikasi pangan pertama kali dilakukan di pada tahun 1920 di Amerika dan Swiss, dalam bentuk fortifikasi garam dengan iodium untuk masyarakat miskin yang menderita penyakit kekurangan iodium pada anak dan ibu hamil yang menyebabkan keterlambatan pertumbuhan fisik dan keterbelakangan mental, termasuk kretinism dan stunting.

Sejak saat itu, fortifikasi pangan, terutama makanan pokok, merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari secara global.

Di Indonesia, kewajiban fortifikasi pangan dimulai dengan iodisasi garam pada tahun 1927 oleh pemerintah Hindia Belanda dan dengan Keputusan Presiden pada tahun 1994, pemerintah Indonesia mewajibkan fortifikasi garam dengan iodium, kemudian fortifikasi wajib tepung terigu dengan zat besi dan beberapa vitamin dan mineral lainnya pada tahun 2001, serta fortifikasi sukarela minyak goreng sawit dengan vitamin A pada tahun 2010.

Sayangnya, fortifikasi pangan belum menjadi prioritas program gizi di Indonesia. Dunia internasional mempertanyakan peran fortifikasi selama pandemi dan sebagai intervensi gizi spesifik untuk menurunkan stunting.

Dunia telah menyepakati bahwa fortifikasi pangan yang wajib (mandatory) telah terbukti secara global sebagai suatu terobosan dengan upaya yang kecil dalam mencegah defisiensi gizi mikro, terutama untuk masyarakat miskin.

Bank Dunia pada tahun 2006 menyatakan bahwa fortifikasi pangan merupakan intervensi gizi spesifik yang paling cost-effective dalam mengatasi masalah gizi mikro.

Sementara hari Kedua, pembicara diantaranya adalah tiga Penerima Penghargaan Pangan Dunia (World Food Prize Laureate), yakni David Nabarro, Utusan Khusus WHO Director General on Covid-19, dan Advisory Committee Member of the UN Food System Summit yang juga adalah Pemegang World Food Prize Laurate 2018 yang menjelaskan tentang SDGs, Sistem Pangan, juga pentingnya asupan gizi yang baik pada periode 1000 hari pertama kehidupan terutama selama masa pandemi COVID-19.

Pembicara selanjutnya, Howarth Bouis, pemegang World Food Prize Laureates 2016, dan pendiri serta mantan Direktur HarvestPlus Washington,menjelaskan tentang teknologi biofortifikasi, sebagai pembuka jalan untuk pengembangan tanaman pangan biofortifikasi yang benar-benar mendukung pentingnya makanan pokok, yang tidak hanya kaya akan karbohidrat seperti yang ada sekarang, tetapi juga menjadi kaya akan aneka ragam vitamin dan mineral.

Baca Juga: Asupan Gizi Seimbang Turunkan Risiko Penyakit Tidak Menular Selama Pandemi

Meskipun pola makanan tidak beragam, karena ketidak mampuan daya beli, pangan biofortifikasi juga mengandung vitamin dan mineral yang cukup memadai, dan mampu mengurangi bahaya kurang gizi. Howarth menjelaskan tentang peran biofortifikasi makanan pokok dalam meningkatkan nilai gizi pangan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI