Karenanya, dia merekomendasikan agar produsen galon sekali pakai bertanggungjawab memantau dampak penggunaan kemasan plastik terhadap kualitas air minum yang dipasarkan kepada masyarakat. Selain itu, Agustino juga meminta agar produsen galon sekali pakai harus menunjukkan komitmen serius terhadap regulasi pengurangan sampah plastik nasional.
“Pemerintah juga perlu bersikap tegas dalam menerapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam pencapaikan target pengurangan sampah plasti nasional,” ucapnya.
Sementara itu, Dokter spesialis saraf, dr. Pukovisa Prawirohardjo, Sp.S, dalam acara yang sama menyampaikan, belum ada satu penelitian pun yang menjelaskan dampak positif mikroplastik untuk kesehatan. Namun, katanya, kekhawatiran terhadap dampak negatif dari mikroplastik dirasakan masyarakat.
Pukovisa berharap adanya revisi kebijakan terkait batas aman dari mikroplastik bagi kesehatan manusia.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tubagus Haryo Karbyanto menyarankan, agar temuan ini disampaikan kepada pembuat kebijakan terkait, yaitu Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memperketat batas aman dari kandungan mikroplastik dalam galon sekali pakai.
Bila mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, sekitar 31% masyarakat Indonesia menjadikan AMDK sebagai sumber konsumsi air minumnya, dan angka tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan sumber air lainnya. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini berpeluang menimbulkan dampak berbahaya bagi kesehatan seperti kerusakan jaringan dan risiko kanker, bila produsen AMDK tidak memperhatikan kemasan produknya.
“Metode pengiriman alternatif harus menjadi pilihan utama bagi produsen. Plastik sekali pakai berpeluang mengancam kesehatan dan menambah beban lingkungan, karena daya tampung tempat pemrosesan akhir di banyak lokasi sudah melebihi ambang batas, serta masih sedikit produsen yang mempublikasikan Peta Jalan Pengurangan Sampah seperti yang telah diregulasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Afifah Rahmi Andini dari Greenpeace Indonesia.