Dalam kesempatan itu LaNyalla juga menyindir para Doktor dan Cendekiawan, dimana para pengamandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 silam, juga banyak yang bergelar doktor. Bahkan, sampai hari ini masih ada kalangan akademisi yang juga bergelar doktor menganggap Konstitusi saat ini, yang mengadopsi sistem barat, sebagai sistem terbaik untuk mewujudkan demokrasi.
“Saya tidak tahu, siapa yang memberi hak mereka merasa sebagai the second founding father bangsa ini. Padahal jelas, para pendiri bangsa sudah tuntas mendiskusikan semua sistem, baik barat maupun timur. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa sistem yang paling sesuai untuk negara super majemuk dan kepulauan yang jarak bentangnya sepanjang beberapa negara di Eropa, adalah Sistem Sendiri, yaitu Demokrasi yang berazas Pancasila. Bukan sistem barat,” tandasnya.
Di tempat yang sama, LaNyalla juga memaparkan tentang Lima Proposal Kenegaraan yang ditawarkan DPD RI sebagai bagian dari penyempurnaan dan penguatan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa. Dimana di antaranya adalah hadirnya kembali Utusan Daerah dan Utusan Golongan di MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sementara DPR tidak hanya diisi representasi dari partai politik saja, tetapi juga diisi peserta pemilu dari perseorangan yang berbasis provinsi, seperti yang sekarang berada di kamar DPD RI.
Gagasan tersebut menurutnya bukan hal baru. Sebab dunia internasional juga sudah melakukan hal itu. Termasuk 12 negara di eropa dan yang terbaru adalah Afrika Selatan. "Hal itu sangat penting agar undang-undang yang dihasilkan, yang mengikat secara hukum kepada seluruh warga negara tidak hanya dibuat oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga oleh keterwakilan masyarakat non-partisan atau people representative,” tukas dia.
Karena faktanya di Indonesia, lanjut LaNyalla, anggota DPR dari partai politik dalam mengambil keputusan masih sangat didominasi arahan ketua umum partai. Sehingga sangat tidak adil bila 275 juta penduduk Indonesia menyerahkan kepatuhan hukum atas undang-undang yang dibentuk atas arahan ketua umum partai yang mempunyai anggota di DPR.
"Itulah mengapa anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis provinsi secara merata, harus berada di dalam kamar DPR RI sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote," papar dia.
Sementara itu, pembina Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia, Prof Hafid Abbas mengatakan UUD 1945 hasil amandemen 1999-2002 telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang berhaluan politik liberal yang didikte oleh Hukum Darwin, Survival of The Fittest. Yakni yang kuatlah yang menang dan menguasai segalanya.
"Akibatnya, Indonesia berada dalam genggaman oligarki politik dan ekonomi yang telah melahirkan kesenjangan sosial ekonomi yang keempat terburuk di dunia, sehingga negeri ini terbawa pada ancaman disintegrasi," tuturnya.
Dosen Fisip UI, Dr Mulyadi, sebagai salah satu narasumber dalam seminar, menyatakan sebagai insan akademis dirinya tidak punya argumen ilmiah untuk menolak proposal dari DPD RI.
Baca Juga: Kembali ke Sistem Demokrasi Pancasila Dinilai Tidak Berarti Kembali ke Era Orde Baru
"Artinya saya mendukung gagasan ini. Bahkan menurut saya siapa saja yang ingin mempertahankan model bernegara seperti sekarang adalah pihak yang justru ingin menghancurkan negara sendiri," tegas dia.