"Itulah mengapa anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis provinsi secara merata, harus berada di dalam kamar DPR RI sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote," papar dia.
Sementara itu, pembina Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia, Prof Hafid Abbas mengatakan UUD 1945 hasil amandemen 1999-2002 telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang berhaluan politik liberal yang didikte oleh Hukum Darwin, Survival of The Fittest. Yakni yang kuatlah yang menang dan menguasai segalanya.
"Akibatnya, Indonesia berada dalam genggaman oligarki politik dan ekonomi yang telah melahirkan kesenjangan sosial ekonomi yang keempat terburuk di dunia, sehingga negeri ini terbawa pada ancaman disintegrasi," tuturnya.
Dosen Fisip UI, Dr Mulyadi, sebagai salah satu narasumber dalam seminar, menyatakan sebagai insan akademis dirinya tidak punya argumen ilmiah untuk menolak proposal dari DPD RI.
"Artinya saya mendukung gagasan ini. Bahkan menurut saya siapa saja yang ingin mempertahankan model bernegara seperti sekarang adalah pihak yang justru ingin menghancurkan negara sendiri," tegas dia.
Dalam pandangannya, ada tiga motif yang melatarbelakangi penggantian konstitusi. Yaitu ingin menguasai ekonomi, kuasai politik, dan kuasai Presiden. Sedangkan dalam teori kekuasaan, kekuasaan itu tidak bersifat distributif.
"Kekuasaan tidak boleh sembarangan diberikan kepada warga negara karena sangat bahaya kalau over kekuasaan. Bisa menindas, antikritik, korup, tak ada partisipatif seperti yang terjadi saat ini," ucapnya.
Dr Mulyadi juga kembali menegaskan bahwa Indonesia tidak pernah dijajah. Yang dijajah adalah bangsa-bangsa lama seperti bangsa Batak, Aceh, Jawa, dan lainnya.
"Artinya Indonesia itu dibentuk oleh gabungan negara dan bangsa lama. Makanya mereka yang membentuk negara ini sudah sewajarnya diberi penghormatan. Sekarang DPD RI mengusulkan para raja dan sultan nusantara duduk di MPR sebagai utusan daerah kenapa harus dipersoalkan?" tuturnya.
Baca Juga: Kembali ke Sistem Demokrasi Pancasila Dinilai Tidak Berarti Kembali ke Era Orde Baru
Ekonom yang juga pengamat politik, Dr Ichsanuddin Noorsy, di kesempatan yang sama, menjelaskan amburadulnya amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002. Bahwa hasil perubahan UUD 1945 tahun 1999 sampai 2002 mengandung kontradiksi, baik secara teoritis konseptual maupun praktik ketatanegaraan.
"Ini sesuai kajian komisi konstitusi di tahun 2002, yaitu terdapat inkonsistensi substansi baik yuridik maupun teoritik. Kemudian ketiadaan kerangka acuan atau naskah akademik dalam melakukan perubahan UUD 1945 merupakan salah satu sebab timbulnya inkonsistensi teoritis dan konsep dalam mengatur materi muatan UUD," katanya.
Dikatakan oleh Noorsy, UUD 2002 tidak akan pernah membawa bangsa ini kepada keselamatan dan kebahagiaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal puncak tujuan tertinggi keinginan manusia adalah keselamatan dan kebahagiaan.
"Karena itu usulan 5 Proposal dari DPD RI perlu jadi pegangan semua pihak untuk mencapai tujuan hakiki manusia. Mudah-mudahan kita bisa mengakhiri ketersesatan dengan kembali ke UUD 1945," kata dia.
Di tempat yang sama, Dr Iramadi Irdja, anggota FDCI, mengatakan persoalan bangsa memang hanya bisa diatasi dengan kembali ke UUD 1945. Setidaknya ada tiga hal yang bisa diatasi.
"Pertama persoalan oligarki yang sangat buruk pada bangsa ini. Oligarki bukan hanya di holding, tetapi sekarang ke pusat, ke China atau 'Mbah'nya oligarki. Persoalan kedua adalah masalah utang. Terakhir yaitu bangkitnya komunisme di Indonesia," katanya.