“Calon anu, saya masukkan dalam (konteks) Hak Asasi Manusia, hasilnya lain sekali. Calon anu lain saya masukkan dalam Sains dan Teknologi, hasilnya juga lain sekali. Calon lain lagi saya masukkan dalam Politik Luar Negeri. Semua punya bahasa dan ungkapan yang berbeda-beda. Dari sini paling tidak kita mencoba memahami bagaimana arah perjalanan seseorang dari ungkapan bahasa yang mereka pakai”, imbuhnya.
Dari internet kita sudah terlalu banyak menerima dan membaca bahasa-bahasa buruk; misinformasi, hoaks, berita bohong, ujaran kebencian. “Dengan diskusi ini semoga kita semakin kritis dan pandai-pandai menyaring, bagaimana seharusnya bahasa ini kita pergunakan dan kita mengerti hakikatnya secara sungguh dalam sebuah kampanye”, simpulnya.
Dalam kesempatan sama, Sastrawan dan Rektor Institut Kesenian Jakarta 2016-2020 Seno Gumira Ajidarma berpendapat, masyarakat perlu kritis dalam membaca, mendengar, menyaksikan sebuah kampanye di media.
Menurutnya Seno, yang penting untuk semakin disadari oleh masyarakat dalam memahami sebuah kampanye pemilu adalah literasi bahwa apa pun yang kita lihat dan dengar dalam kampanye pemilu umumnya kita terima melalui media.
“Dan (apa yang disampaikan) media itu sesungguhnya bukan realitasnya. Kita sering kurang sadar akan hal ini; dari mulai bangun tidur kita membuka media melalui TV atau HP, kita sering tidak sadar bahwa semua yang kita saksikan itu adalah ‘bikinan’ orang, bikinan tim, atau buatan orang usil, melalui proses editing, editor, melalui posisi media, dan segala macam terkait proses teknis itu, itu semua tidak ada yang riil sama sekali”, ungkapnya.
Menurutnya, umumnya bahasa kampanye itu bisa dianalisa bila kita bersikap kritis.
"Kampanye baik maupun buruk bisa kita analisis. Ada kampanye yang disajikan dengan gaya bahasa eufemisme, menyerang secara halus. Itu boleh-boleh saja. Tapi yang terpenting bagi kita (dalam menghadapi semua yang disampaikan dalam kampanye) adalah membentengi diri kita dengan sikap kritis. Yang pertama menyadari bahwa (berita dan isi kampanye) ini adalah konstruksi. Konstruksi itu bisa baik, bisa buruk. Kalau yang baik saja bukan realitas, apalagi yang buruk”, katanya.
Dengan sikap kritis dan cara pengamatan seperti itu, bagi Seno, kita bisa terhindar dari informasi-informasi yang tidak benar dan nyata, sehingga kita tidak mudah menjadi korban kampanye yang buruk.
“Sebuah jurnalisme yang bagus sekalipun, itu tetap memanipulasi pembacanya. (Mereka punya motivasi) supaya dihargai, supaya dianggap bagus. Semua itu adalah suatu tehnik atau metode, suatu pembahasaan, atau pencitraan. Dengan kesadaran utama itu kita akan lebih cerdas dan pintar mengamati, kita bisa “survive” dalam hiruk pikuk kampanye pemilu. Kita tidak akan mudah termakan isu dan akan mempertimbangkan apa pun bahwa demokrasi itu semua tergantung (kita sebagai) pemilihnya yang menentukan”, katanya.
Baca Juga: Panglima TNI Ultimatum Prajurit Tak Netral di Pemilu 2024: Ada Penindakan Hukum!
“Kita mesti membuat sebuah ‘kesetaraan yang emansipatoris’. Kalau saya ‘dikibuli’, kita tahu ‘kibul’-nya. Sebaliknya, kalau kita hanya percaya saja pada apa yang dibahasakan dalam setiap kampanye, yang paling halus maupun yang paling intelektual sekalipun, kita akan menjadi korban saja," kata Seno.