Djisman S.Simandjuntak: Bahasa itu Sinyal Kepribadian, Bisa Ditemukan dari Para Capres-Cawapres dalam Kampanye

Iman Firmansyah Suara.Com
Jum'at, 10 November 2023 | 17:30 WIB
Djisman S.Simandjuntak: Bahasa itu Sinyal Kepribadian, Bisa Ditemukan dari Para Capres-Cawapres dalam Kampanye
Diskusi Publik: Bahasa dan Kampanye Pemilu yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Jakarta, Kamis (9/11/2023) yang menghadirkan pembicara yakni Sastrawan dan Rektor IKJ 2016-2020 Seno Gumira Ajidarma, Dosen Desain Komunikasi Visual IKJ Iwan Gunawan, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Prof Zeffry Alkatiri, dan Guru Besar Ilmu Marketing Prof Agus W. Soehadi. (Dok: Istimewa)

Menurutnya, umumnya bahasa kampanye itu bisa dianalisa bila kita bersikap kritis.

"Kampanye baik maupun buruk bisa kita analisis. Ada kampanye yang disajikan dengan gaya bahasa eufemisme, menyerang secara halus. Itu boleh-boleh saja. Tapi yang terpenting bagi kita (dalam menghadapi semua yang disampaikan dalam kampanye) adalah membentengi diri kita dengan sikap kritis. Yang pertama menyadari bahwa (berita dan isi kampanye) ini adalah konstruksi. Konstruksi itu bisa baik, bisa buruk. Kalau yang baik saja bukan realitas, apalagi yang buruk”, katanya.

Dengan sikap kritis dan cara pengamatan seperti itu, bagi Seno, kita bisa terhindar dari informasi-informasi yang tidak benar dan nyata, sehingga kita tidak mudah menjadi korban kampanye yang buruk.

“Sebuah jurnalisme yang bagus sekalipun, itu tetap memanipulasi pembacanya. (Mereka punya motivasi) supaya dihargai, supaya dianggap bagus. Semua itu adalah suatu tehnik atau metode, suatu pembahasaan, atau pencitraan. Dengan kesadaran utama itu kita akan lebih cerdas dan pintar mengamati, kita bisa “survive” dalam hiruk pikuk kampanye pemilu. Kita tidak akan mudah termakan isu dan akan mempertimbangkan apa pun bahwa demokrasi itu semua tergantung (kita sebagai) pemilihnya yang menentukan”, katanya.

“Kita mesti membuat sebuah ‘kesetaraan yang emansipatoris’. Kalau saya ‘dikibuli’, kita tahu ‘kibul’-nya. Sebaliknya, kalau kita hanya percaya saja pada apa yang dibahasakan dalam setiap kampanye, yang paling halus maupun yang paling intelektual sekalipun, kita akan menjadi korban saja," kata Seno.

Mengutip ungkapan filsuf Michel Foucault, kata Seno kekuasaan itu selalu menghadapi perlawanan.

“Di mana ada kekuasaan, di sana ada perlawanan yang artinya kekuasaan itu selalu dinamis, tidak absolut, dia adalah hubungan-hubungan ragam kuasa, yang bersirkulasi, yang ternegosiasi, tersebar di negara, sekolah, agama, lembaga militer, regulasi, media , dan lain-lain,” katanya.

Dengan demikian, dalam kontek membaca para kontestan dalam kampanye yang akan masuk kekuasaan, masyarakat perlu sikap yang cerdas dan kritis agar dapat mempertimbangkan segala pilihanya secara matang dan sebaik-baiknya.

Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Prof Zeffry Alkatiri berpendapat, peran akademisi dalam kampanye pemilu adalah menyadarkan masyarakat bahwa semua yang dilakukan dalam kampanye adalah perebutan ruang-ruang framing.

Baca Juga: Panglima TNI Ultimatum Prajurit Tak Netral di Pemilu 2024: Ada Penindakan Hukum!

Menurut Zeffry, tugas akademisi semestinya mengedukasi masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam sebuah proses kampanye, dalam apa yang umumnya dibuat oleh tim kampanye calon tertentu untuk menciptakan sebuah framing atau yang dulu dikenal sebagai propaganda yang akan disampaikan kepada masyarakat.

“Tujuannya umumnya hanya agar orang memilih mereka. Caranya adalah dengan memberi figura tertentu sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan tim kampanye”, ungkap Zeffry.

Apa yang pernah dilakukan para politikus di masa kolonial, jelas Zeffry, yang sering menggunakan propaganda dalam mempengaruhi masyarakat, sekarang ini juga dilakukan para juru kampanye atau tim pemenangan calon tertentu.

“Metode dan strateginya lebih canggih lagi. Namun pada intinya sama. Bagaimana mereka menggunakan narasi untuk mempengaruhi masyarakat,” jelasnya.

Masyarakat perlu lebih sadar dan mencermati lagi bahwa semua framing dalam kampanye sekarang ini terjadi secara masif dan canggih di ruang-ruang narasi yang ada dalam genggaman kita.

“Di telepon genggam kita, baik itu merek dari Amerika, China, Korea, Taiwan atau lokal, semua punya aplikasi atau media yang menampung perebutan ruang-ruang narasi itu”, tambahnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI