"Data pelanggan ini penting, ada nama, nomor telepon, alamat surat elektronil (e-mail), alamat rumah, dan ini semua wajib dilindungi oleh penyedia layanan. Jadi, ada kepastian keamanan untuk informasi pelanggan," terangnya.
Menurut Pratama, di Indonesia sendiri belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus dibuat untuk melindungi informasi konsumen yang dipegang penyedia layanan jasa.
"Tidak hanya dari perlindungan peretasan, tetapi juga jual-beli informasi konsumen oleh penyedia layanan jasa," ucapnya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menerbitkan UU yang memaksa penyedia layanan jasa, seperti bank dan Go-Jek, untuk melindungi data pelanggan.
"Jangan sampai setiap ada peretasan dan 'fraud' (penipuan), pelanggan dan nasabah yang selalu disalahkan," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, itu.
Pratama menyarankan untuk masyarakat jangan lantas meninggalkan Go-Jek. Hal itu mengingat aplikasi besutan Nadiem Makarim tersebut berhasil menjadi pionir dan menggairahkan industri teknologi di Indonesia.
"Kita juga harus mengapresiasi Go-Jek yang langsung cepat 'me-reset' 'password' akun yang diperjualbelikan. Masyarakat tetap bisa memakai Go-Jek. Namun, bila masih ragu dan takut, cukup dengan membayar 'cash' bila masih takut akun Go-Pay-nya jadi sasaran peretas," pungkasnya. (Antara)