Suara.com - China mengumumkan sebuah inisiatif untuk membangun standar global menyangkut keamanan data, Selasa (8/9/2020). Negara Tirai Bambu itu juga ingin mempromosikan multilateralisme pada masa negara-negara individual merundung negara lain serta memburu perusahaan.
"Pengaturan keamanan data global yang merefleksikan harapan semua negara dan menghormati kepentingan semua pihak harus diraih dalam dasar partisipasi universal oleh semua pihak," kata Menteri Luar Negeri China Wang Yi dilansir laman Antara, Rabu (9/9/2020).
Pengumuman tersebut disampaikan Wang satu bulan setelah Amerika Serikat (AS) mengatakan sedang membersihkan aplikasi China, yang disebutnya tidak terpercaya, di bawah program bernama Clean Network (Jaringan Bersih).
"Beberapa negara individual tengah secara agresif mengejar unilateralisme, memercikkan air kotor kepada negara lain dengan dalih 'kebersihan', dan melakukan perburuan global terhadap perusahaan terkemuka dari negara lain dengan dalih keamanan," ujar Wang.
![Aplikasi WeChat. [Shutterstock]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/05/10/68816-aplikasi-wechat.jpg)
"Ini adalah jelas-jelas perundungan, dan harus dilawan dan ditolak," kata dia menambahkan.
Inisiatif China itu menyerukan perusahaan-perusahaan teknologi untuk mencegah adanya celah pada produk dan jasa yang memungkinkan data mereka diperoleh secara ilegal.
Pemerintah juga meminta para peserta untuk menghormati kedaulatan, yurisdiksi, dan hak pengelolaan data negara lain.
China juga menyerukan para peserta untuk tidak terlibat dalam pengawasan skala besar terhadap negara-negara lain atau secara ilegal mengambil informasi warga negara asing melalui teknologi informasi.
Namun, pengumuman itu tidak menyebutkan keterangan terperinci mengenai alasan pembentukan inisiatif tersebut serta negara mana saja yang telah bergabung.
Baca Juga: Bahas Vaksin SinoVac, WHO dan China Rapat Khusus
China sendiri mengawasi dan menyensor secara ketat ruang siber negaranya melalui Tembok Api Besar (Great Firewall), sebuah pembatasan akses dalam negeri terhadap perusahaan-perusahaan media sosial yang berbasis di AS, seperti Twitter, Facebook, dan Google.
![Aplikasi TikTok. [Shutterstock]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/21/37227-aplikasi-tiktok.jpg)
Sementara itu, pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump telah mengambil langkah terhadap perusahaan besar asal China, seperti Huawei Technologies, Tencent Holdings, dan ByteDance yang memiliki TikTok, atas alasan keamanan nasional dan kekhawatiran soal pengumpulan data pengguna.
Perusahaan-perusahaan itu menyangkal tuduhan AS. Meskipun begitu, AS telah memblokir ekspor untuk Huawei dan berencana melarang TikTok di negaranya pada September ini, kecuali ByteDance menjual hak operasional media berbagi video singkat tersebut di AS.