Akankah Covid-19 Jadi Alat Seleksi Alam seperti Pes dan Malaria?

Liberty Jemadu Suara.Com
Sabtu, 24 Juli 2021 | 07:05 WIB
Akankah Covid-19 Jadi Alat Seleksi Alam seperti Pes dan Malaria?
Akankah Covid-19 menjadi alat seleksi alam seperti malaria dan pes? Foto: Petugas kesehatan melakukan pemeriksaan awal kepada anak usia 12-18 tahun yang akan menjalani vaksinasi COVID-19 di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (10/7/2021). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Tiga di antaranya adalah kompleks gen TLR, yang dapat mengenali Yersinia pestis (penyebab pes) dan memainkan peran dalam pertahanan terhadap patogen.

Black death terjadi pada pertengahan abad ke-14. Bakteri Yersinia pestis yang menjadi penyebab pes disebarkan oleh kutu (Xenopsylla cheopsis) pada tikus yang terbawa dalam kapal budak, berawal di Crimea, dan berkeliling wilayah Mediterania.

Kita adalah penyintas

Manusia berjalan di muka bumi ini paling tidak sudah selama 300.000 ribu tahun, perjalanan yang tidak sebentar. Manusia meninggalkan Afrika sekitar 60.000 - 50.000 tahun yang lalu, melewati berbagai kondisi geografis dan iklim.

Sejak itu, manusia telah (dan terus) mengalami adaptasi biologis yang sangat intens terhadap lingkungannya. Para peneliti sudah mampu menguraikan bukti proses seleksi alam dalam DNA manusia.

Hanya orang-orang yang memiliki DNA penyintas, yang mampu bertahan dalam lingkungan tempatnya berada. Merekalah yang hidup, bereproduksi, dan meneruskan DNA-nya kepada keturunannya. Yang lain akan mati atau tersingkir dan berpindah.

Selain kondisi geografis, endemisitas penyakit dan pandemi pada masa lampau menjadi salah satu faktor penentu arah evolusi manusia.

Selain pandemi yang disebabkan oleh virus dan bakteri di atas, tekanan endemisitas penyakit malaria di Afrika membentuk genom populasi manusia di Afrika sub-Sahara hingga saat ini.

Parasit plasmodium, penyebab malaria yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles, telah hidup berdampingan dengan manusia selama kurang lebih 100.000 tahun. Meningkatnya kematian akibat malaria sekitar 10.000 tahun terakhir akibat penyebaran budaya bercocok-tanam akhirnya memicu evolusi dan seleksi alam yang kentara pada populasi manusia.

Baca Juga: Kemenkes Israel: Kemanjuran Vaksin Pfizer Anjlok Jadi 39 Persen Hadapi Varian Delta

Saat ini, menurut laporan WHO, 94 persen dari keseluruhan total kasus akibat malaria pada 2019 di dunia ini terjadi di Afrika, yakni sebanyak 215 juta kasus.

Namun, populasi-populasi di Afrika, terutama di sub-Sahara, juga memiliki frekuensi kelainan sel darah merah yang tinggi, seperti Sickle-cell Trait (kelainan sel darah merah berbentuk sabit), Talasemia, dan hemoglobinopati (kelainan sel darah merah terkait produksi hemoglobin) lainnya.

Ini yang melahirkan hipotesis malaria dari JBS Haldane, salah satu pelopor genetika populasi modern pada 1949. Ia mengungkapkan bahwa tingginya frekuensi kelainan sel darah merah Sickle Cell merupakan respons seleksi alam terhadap tekanan malaria.

Beberapa tahun setelahnya, AC Allison mengkonfirmasi hipotesis tersebut dan menyatakan bahwa individu dengan Sickle Cell resistan terhadap malaria. Penyebabnya, satu mutasi nukleotida pada gen HBB mengubah struktur sel darah merah. Perubahan ini dapat menghambat pelekatan Plasmodium falciparum ke sel darah dan mencegah infeksi.

Kerja seleksi alam

Jika sepasang manusia memiliki empat anak, maka jumlah populasi akan meningkat dua kali lipat dalam waktu 25-30 tahun. Jumlah mereka akan terus meningkat secara eksponensial.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI