Namun ada faktor eksternal yang menekan jumlah populasi, seperti bencana, perubahan lingkungan, dan wabah penyakit.
Faktor tekanan lingkungan ini yang berlaku sebagai salah satu pemelihara kesinambungan jumlah populasi. Jenis spesies tertentu bisa bertahan hidup meski ada tekanan lingkungan, sedangkan lainnya tersingkirkan, menghilang, dan mati.
Dari sekian banyak temuan dalam observasi selama eksplorasinya, Alfred R. Wallace dan Charles Darwin berkesimpulan bahwa hanya yang bisa menyesuaikan dengan lingkungannya yang bisa untuk bertahan hidup. Survival of the fittest, begitu kita mengenalnya.
Dengan banyaknya variasi karakteristik fisik dan genetik dalam suatu spesies yang sama, lingkungan yang akan memainkan peran penentu variasi mana yang cocok untuk tinggal di dalamnya.
Alam yang memilih, alam yang menyeleksi. Itulah yang terjadi pada kasus wabah pes, malaria, dan mungkin juga nanti pandemi COVID-19.
Namun pandemi COVID-19 belum berakhir sehingga belum dapat diketahui secara pasti kekuatan seleksi alam yang diakibatkan oleh pandemi ini pada manusia. Apakah teknologi vaksin saat ini justru memperlambat laju seleksi alam akibat COVID-19?
Para peneliti generasi mendatang yang bisa meneliti fenomena seleksi alam dan evolusi manusia akibat COVID-19.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Baca Juga: Kemenkes Israel: Kemanjuran Vaksin Pfizer Anjlok Jadi 39 Persen Hadapi Varian Delta