Pada era Orde Baru, jilbab muncul sebagai simbol kebangkitan Islam melawan represi negara.
Sementara, pada era Reformasi, perkembangan jilbab begitu pesat bersamaan dengan bangkitnya partai politik, institusi-institusi agama Islam baru, yang dibarengi dengan tumbuhnya gairah “pasar” pakaian muslim dan gerakan revolusi hijab dari kalangan kelas menengah ke atas.
Saat ini juga terjadi pergeseran pilihan kata dari jilbab (kain penutup kepala hingga dada) menjadi hijab (makna harfiahnya adalah penutup, bisa jadi kain pembatas dalam salat).
Pada masa kini, jilbab bukan hanya menjadi simbol ideologi keagamaan dan kesalehan, tapi juga bagian dari gaya hidup masa kini, aturan sekolah dan kontrol sosial.
Memilih untuk diri sendiri
Perempuan berhijab yang dulunya kelompok minoritas, kini menjadi kelompok besar.
Tantangan yang berbeda di setiap kondisi menghadapkan perempuan muslim untuk menentukan pilihan, sesuai dengan ritme jiwa dan kenyamanan hati mereka.
Sebagian memilih berhijab karena percaya bahwa hijab merupakan manifestasi sempurna dari kesalehan seorang muslimah.
Sebagian lain memilih menjadi baik dengan cara memantaskan diri, bukan dengan ‘simbol’ (jilbab), apalagi jika semata karena aturan atau faktor desakan lingkungan, melainkan fokus pada aspek batin yang lebih fundamental, atau setidaknya jujur pada dirinya sendiri.
Baca Juga: Tak Hanya Belanja, Beli Hijab yang Satu Ini Bisa Sekalian Sedekah
Sebagian yang lain lagi memilih untuk menjadi fleksibel, mengarungi dua sisi dunia berhijab dan tidak berhijab — yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupannya — tanpa banyak pretensi.