Suara.com - Chairil Abdini, dosen kebijakan publik Universitas Indonesia, menemukan beberapa faktor yang menyebabkan peringkat inovasi Indonesia menjadi yang terendah di antara 6 negara ASEAN lainnya. Berikut paparan Chairil seperti yang sebelumnya tayang di The Conversation:
Inovasi penting bagi suatu bangsa karena membuat produk barang dan jasa lebih kompetitif di pasar global, mengurangi ketergantungan terhadap impor, dan meningkatkan kemudahan dan efisiensi pelayanan publik serta kegiatan sosial.
Sayangnya, peringkat inovasi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN-6 lainnya, atau negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang perekonomiannya relatif maju di kawasan.
Berdasarkan Indeks Inovasi Global yang dirilis World Intelectual Property Organization (WIPO), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi properti intelektual, peringkat inovasi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Pada tahun 2021, Singapura berada pada peringkat 8, Malaysia 36, Thailand 43, Vietnam 44, Filipina 51 dan Indonesia berada pada peringkat 87. Padahal, Pendapatan Domestik Bruto (PDB/GDP) Indonesia jauh di atas negara-negara tersebut.
Apa faktor yang menghambat inovasi di Indonesia? Studi saya menemukan beberapa alasan di balik rendahnya peringkat inovasi Indonesia, di antaranya faktor kegagalan pasar, kurangnya intervensi pemerintah dan pemanfaatan jejaring global, dan kurangnya ancaman eksternal.
Mengapa peringkat inovasi Indonesia rendah?
Pakar studi komparatif dan ekonomi politik internasional dari Amerika Serikat, Mark Zachary Taylor, menyimpulkan bahwa tingkat inovasi suatu bangsa antara lain ditentukan oleh faktor kegagalan pasar, intervensi kebijakan pemerintah dan kelembagaan, jejaring sosial global, serta faktor ketidakamanan kreatif (creative insecurity).
Berdasarkan data pengeluaran untuk riset dan pengembangan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), investasi perusahaan Indonesia untuk riset dan pengembangan sebesar 0,02% dari PDB, terendah dibandingkan Singapura 1,26%, Malaysia 0,59%, Thailand 0,27%, Vietnam 0,21% dan Filipina 0,04%.
Baca Juga: Tantangan Bisnis Media ke Depan, Cepat Adaptasi, Inovasi dan Kolaborasi
Rendahnya investasi perusahaan Indonesia di bidang riset dan pengembangan mengindikasikan faktor kegagalan pasar berkontribusi terhadap rendahnya inovasi di Indonesia.
Kegagalan pasar terjadi ketika perusahaan tidak berminat atau tidak mampu melakukan investasi di bidang riset dan pengembangan, karena hasil inovasi dengan mudah dapat ditiru oleh perusahaan lain. Selain itu, minimnya kemampuan dalam menyediakan sumber daya (talenta, finansial, peralatan, pengetahuan dan teknologi) yang dibutuhkan dalam berinovasi juga menjadi ganjalan bagi perusahaan.
Inovasi juga mahal dan berisiko tinggi. Oleh sebab itu, perusahaan cenderung memilih kegiatan bisnis dengan risiko lebih rendah seperti misalnya lisensi, perakitan, keagenan, dan pemasaran produk barang maupun jasa dari luar negeri.
Sementara itu, inovasi produk barang dan jasa luar negeri yang dipasarkan terus mengalami inovasi di negara asalnya. Akibatnya, perusahaan dalam negeri semakin jauh tertinggal untuk dapat menghasilkan produk yang setingkat.
Ketika terjadi kegagalan pasar, biasanya pemerintah melakukan intervensi kebijakan dan kelembagaan. Dalam hal ini, masalah yang dihadapi Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum terhadap hak kekayaan intelektual, rendahnya anggaran riset, rendahnya kualitas pendidikan, belum berkembangnya universitas riset, dan kurang mendukungnya kebijakan perdagangan luar negeri.
Tanpa adanya alasan yang kuat mengapa suatu bangsa perlu melakukan inovasi, maka intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan hanya akan berujung pada salah kelola dan misalokasi sumberdaya. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat mempertanyakan penelitian yang dilakukan kementerian dan lembaga yang menghabiskan anggaran Rp 24,7 triliun.