Pasalnya, Pusat Data Nasional memiliki fungsi yang sangat strategis, yaitu melindungi kedaulatan data nasional dan melindungi data pribadi.
“Tapi semuanya di-hack dan kemudian semuanya tergopoh-gopoh (berbenah). What’s wrong with this?” tanya Nurul, dikutip dari siaran pers terpisah.
Politikus Fraksi Partai Golkar itu juga menyoroti adanya permintaan uang tebusan sebesar 8 juta Dolar AS atau Rp 131 miliar, yang mana ini digadang-gadang sebagai biaya untuk membuka file yang terenkripsi tersebut.
“Pertanyaanya siapa yang meminta tebusan? Dan Bapak harus bayar ke mana? Pelakunya siapa? Pertanyaan berikutnya apakah pelakunya ada indikasi dari internal? Apakah mereka yang menjual teknologi karena teknologinya ingin dibeli? Atau pelakunya bisa jadi orang yang marah karena usaha judi online-nya diganggu oleh Bapak misalnya? Apakah mereka yang marah?" cecar dia.
Nurul turut mempertanyakan pertanggungjawaban fasilitas data backup yang telah disediakan oleh PT Lintasarta maupun PT Telkom di PDN.
“Apakah mereka atas ketidakmampuan mereka memenuhi service level agreement itu? Tanggung jawab mereka di mana? Pasti ada kontrak gitu ya? Kemudian seberapa besar kerugian finansial dan non finansial dari perkara ini?" tegasnya.
Kronologi ransomware serang Pusat Data Nasional
Diketahui PDNS 2 Surabaya ini mengalami serangan siber dalam bentuk ransomware sejak Senin, 17 Juni 2024 sekitar tengah malam.
Tiga hari kemudian, PDNS mulai mengalami infeksi perangkat lunak berbahaya (malicious software) atau malware.
Baca Juga: DPR Usul Bentuk Satgas Khusus PDN Usai Diserang Hacker, Jangan Cuma Diisi Kominfo-BSSN
Puncaknya, PDNS mulai tidak bisa diakses sejak Kamis, 20 Juni 2024. Akibatnya, layanan publik yang menggunakan data dari PDNS pun tidak bisa diakses, termasuk layanan Imigrasi.