Penyebab Stunting
Ada beberapa penyebab stunting yang terjadi pada anak, mulai dari pola asuh hingga krisis sanitasi. Berikut uraiannya, dikutip dari Yoursay, jejaring Suara.com.
1. Pola Asuh yang Tidak Berbasis Sains
Banyak orang tua masih mengandalkan kebiasaan turun-temurun dalam memberi makan anak, contohnya mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Misal, nasi putih dan mie instan dianggap cukup mengenyangkan, padahal minim protein, vitamin, dan mineral.
Kedua yakni MPASI yang tidak tepat. Di beberapa daerah, anak usia 6 bulan diberi bubur nasi tanpa lauk, buah, atau sayur, yang berakibat pada defisiensi zat besi dan zinc (UNICEF, 2021).
Ketiga, kurangnya edukasi tentang ASI eksklusif. Hanya 35 persen bayi di Indonesia yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan (Riskesdas, 2018), padahal ASI adalah fondasi kekebalan dan pertumbuhan otak.
2. Sanitasi Buruk: Biang Kerok Tersembunyi
Sanitasi yang buruk menciptakan siklus penyakit yang menguras energi anak. Data WHO menunjukkan bahwa 50 persen kasus stunting di dunia terkait dengan infeksi berulang akibat air tercemar dan kebiasaan higienis yang buruk.
Di Indonesia, 25 persen penduduk masih buang air besar sembarangan (BABS), dan 40 persen sekolah tidak memiliki toilet layak (BPS, 2022).
Akibatnya, diare kronis. Anak-anak terpapar bakteri E. coli atau parasit Giardia melalui air minum atau makanan terkontaminasi.
Baca Juga: Santuni Anak Yatim, Ketua KWP: Kami Ingin Berkontribusi Nyata
Selain itu Cacingan juga menjadi faktor. Infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides mengganggu penyerapan nutrisi di usus.
3. Air Bersih: Masalah Struktural yang Dibiarkan
Akses air bersih masih menjadi privilese di banyak wilayah. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, hanya 30 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum aman (Bappenas, 2021).
Air sungai atau sumur tercemar arsenik dan bakteri sering dijadikan sumber minum, memicu radang usus kronis (environmental enteropathy) yang menghambat pertumbuhan.
4. Perilaku Apatis: “Dulu Juga Begini, Kok Sehat!”
Masyarakat sering menolak perubahan karena kebiasaan lama dianggap "sudah terbukti". Contoh mencuci tangan dianggap tidak penting. Hanya 20 persen rumah tangga di Indonesia memiliki sabun dan air mengalir di toilet (UNICEF, 2020).