Peneliti Indonesia Gunakan AI untuk Mitigasi Bencana dan Ketahanan Pangan

Dicky Prastya Suara.Com
Kamis, 01 Mei 2025 | 18:08 WIB
Peneliti Indonesia Gunakan AI untuk Mitigasi Bencana dan Ketahanan Pangan
Mardhani Riasetiawan dan Ester Rosdiana Sinaga, dua peneliti dari Indonesia yang memanfaatkan teknologi AI untuk mitigasi bencana dan ketahanan pangan. [Dok. Microsoft Indonesia]

Suara.com - Sejumlah peneliti dari Indonesia menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk mitigasi bencana dan ketahanan pangan.

Para peneliti ini merupakan tim yang tergabung dalam program elevAIte Indonesia hasil kerja sama antara Microsoft serta Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

AI National Skills Director Microsoft Indonesia, Arief Suseno menyatakan, teknologi AI tidak hanya membuka peluang baru, tetapi juga mengubah cara orang bekerja dan berinovasi. Ia menilai manfaat AI baru dapat dirasakan sepenuhnya jika masyarakat memiliki keterampilan yang tepat untuk menggunakannya.

"Karena itu, melalui elevAIte Indonesia, kami ingin memastikan bahwa siapa pun, tanpa memandang latar belakang, dapat mengakses keterampilan dasar AI untuk mengembangkan solusi berkelanjutan dan menjawab tantangan nyata di komunitas sekitar, mulai dari krisis iklim hingga ketahanan pangan," ungkap Arief lewat siaran pers, Kamis (1/5/2025).

Tim peneliti G-Connect sedang memasang sensor di Wonogiri. [Dok. Microsoft Indonesia]
Tim peneliti G-Connect sedang memasang sensor di Wonogiri. [Dok. Microsoft Indonesia]

AI untuk mitigasi bencana

Pemanfaatan ini dilakukan oleh tim G-Connect Project dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka menciptakan sistem mitigasi bencana berbasis AI yang dibangun bersama komunitas lokal di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Dengan memasang lebih dari 30 sensor tanah di titik-titik rawan longsor, data pergerakan tanah dikirim melalui jaringan solar-powered ke platform cloud Microsoft Azure.

Data tersebut kemudian divisualisasikan secara sederhana melalui Power BI dan ditampilkan di kantor desa, masjid, pos kamling, bahkan sekolah dasar.

Masyarakat, termasuk anak-anak, diajarkan cara membaca pola pergerakan tanah di dashboard tersebut untuk memahami apakah kondisi saat itu aman atau menunjukkan tanda bahaya.

Baca Juga: Bisnis Kuliner Tumbuh Positif hingga 21%: Begini Kunci Sukses Toko Roti Romi Makin Berkembang

“Kalau grafiknya konsisten, berarti tanahnya aman. Tapi kalau polanya mulai berubah, berarti ada pergerakan. Warga sudah bisa baca itu sendiri sekarang,” ujar Mardhani Riasetiawan selaku Associate Professor di Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika FMIPA UGM sekaligus Ketua Tim G-Connect.

Peringatan dini pun disampaikan secara human-centered, dengan pendekatan berbasis komunitas agar tidak menimbulkan kepanikan. Alih-alih menggunakan sirine, sistem peringatan dikirimkan ke relawan di setiap RT, yang kemudian menyampaikan informasi melalui pengeras suara masjid atau grup WhatsApp.

Setiap rumah juga diberi penanda warna mulai dari hijau, kuning, atau merah untuk memudahkan proses evakuasi berdasarkan tingkat risiko.

“Waktu itu pernah 33 sensor kami terkubur karena longsor. Tapi justru itu bukti bahwa sistemnya bekerja. Bahkan, pernah ada warga yang sempat mendapat peringatan 7 menit sebelum longsor, dan itu menyelamatkan 15 orang,” ungkap Mardhani.

Kini, G-Connect tengah mempelajari pemanfaatan AI lebih lanjut untuk mengembangkan model prediksi. Tim mereka mengikuti pelatihan elevAIte Indonesia untuk meningkatkan keterampilan teknis, terutama dalam machine learning dan penggunaan Copilot Studio.

Nantinya, mereka ingin membangun sistem prediksi berbasis AI dan sedang mengeksplorasi penyajian data serta cara komunikasi yang lebih cepat sekaligus mudah dipahami oleh masyarakat, seperti menyajikan data melalui chatbot lokal berbasis Bahasa Jawa.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI