Organisasi di Indonesia semakin rentan terhadap ancaman yang beroperasi secara tersembunyi.
![Ilustrasi malware. [Pixabay]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/08/02/72109-ilustrasi-malware.jpg)
Ancaman yang paling banyak dilaporkan mencakup ransomware (64 persen), serangan rantai pasokan perangkat lunak (58 persen), kerentanan pada sistem cloud (56 persen), ancaman dari orang dalam (52 persen), serta eksploitasi celah yang belum ditambal dan zero-day (50 persen).
Ancaman yang paling mengganggu kini bukan lagi yang paling mencolok. Di urutan teratas adalah eksploitasi celah yang belum ditambal dan zero-day, disusul oleh ancaman dari orang dalam.
Kemudian, kesalahan konfigurasi cloud, serangan pada rantai pasokan perangkat lunak, dan kesalahan manusia.
Ancaman-ancaman ini sangat merusak karena sering kali luput dari pertahanan tradisional, dengan mengeksploitasi kelemahan internal dan celah visibilitas.
Akibatnya, risiko yang lebih senyap dan kompleks ini kini dipandang lebih berbahaya dibandingkan ancaman yang sudah dikenal luas seperti ransomware atau phishing.
Edwin Lim, Country Director, Fortinet Indonesia, mengatakan bahwa kompleksitas kini menjadi medan pertempuran baru dalam keamanan siber dan AI adalah tantangan sekaligus garis depan pertahanan.
"Ketika ancaman menjadi semakin senyap dan terkoordinasi, Fortinet membantu organisasi di seluruh Indonesia untuk tetap selangkah lebih maju melalui pendekatan platform terpadu yang menggabungkan visibilitas, otomasi, dan ketahanan," katanya.
Dia menamahkan, dalam lingkungan ancaman saat ini, kecepatan, kesederhanaan, dan strategi menjadi lebih penting dari sebelumnya.
Baca Juga: Cara Kerja Penjahat Siber Mengeksploitasi Tren Gen Z, Mulai Dari FOMO hingga Fast Fashion
"Fokus kami adalah membantu pelanggan beralih dari pertahanan tambal sulam ke keamanan berbasis AI yang dirancang untuk skala dan kecanggihan,” ujar Edwin Lim.
Ancaman tradisional seperti phishing dan malware masih mengalami pertumbuhan sekitar kurang lebih 10 persen, namun kenaikan angkanya tidak terlalu signifikan.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sistem pertahanan yang sudah matang seperti perlindungan endpoint dan pelatihan kesadaran keamanan.
Sebaliknya, ancaman yang pertumbuhannya paling cepat mencakup ransomware (24 persen), serangan rantai pasokan (22 persen), eksploitasi celah yang belum ditambal dan zero-day (22 persen), serangan terhadap perangkat IoT/OT (20 persen), dan kerentanan cloud (18 persen).
Ancaman-ancaman ini berkembang pesat karena mengeksploitasi celah dalam tata kelola, visibilitas, dan kompleksitas sistem sehingga menjadikannya lebih sulit dideteksi dan berpotensi lebih merusak bila berhasil.
Dampak bisnis utama dari serangan siber mencakup pencurian data dan pelanggaran privasi (66 persen), sanksi regulasi (62 persen), hilangnya kepercayaan pelanggan (60 persen), dan gangguan operasional (38 persen).