Pengenaan Bea Masuk ini tidak sekedar terkait penerimaan negara, lebih penting lagi merupakan instrumen fiskal untuk mengendalikan barang impor dalam rangka melindungi industri dalam negeri termasuk UMKM.
Dalam Pasal 2 ayat (4) PMK 04/2025 diatur definisi barang kiriman hasil perdagangan merupakan barang hasil transaksi jual beli antara penjual dan pembeli.
Identifikasi barang hasil perdagangan dapat dilakukan dengan melihat bukti-bukti transaksi jual beli misalnya pembelian melalui PPMSE atau terdapat invoice pembelian.
Status barang sebagai hasil perdagangan dan non- perdagangan tidak lagi mempengaruhi skema penyelesaian barang kiriman impor, apakah dengan self-assessment (konsekuensi sanksi denda) atau official assessment (tidak ada konsekuensi sanksi denda).
Meskipun begitu, DJBC masih perlu membedakan barang hasil perdagangan dan non-perdagangan untuk keperluan statistik dan pengambilan kebijakan ke depan.
Namun, barang hasil perdagangan maupun non-perdagangan diperlakukan sama, tidak ada perbedaan terkait fiskal yakni pengenaan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, kecuali yang secara ketentuan diberikan pembebasan bea masuk dan pajak.
Kemudian, nilai pabean untuk penghitungan bea masuk merupakan nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan yang memenuhi syarat tertentu, dan menggunakan international commercial terms (incoterms) cost, insurance, dan freight (CIF).
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan metode nilai transaksi barang tersebut, maka ditentukan berdasarkan metode: nilai transaksi barang identik; nilai transaksi barang serupa; deduksi; komputasi; atau pengulangan (fallback method).
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni
Baca Juga: Tragis, Remaja 13 Tahun Meninggal Usai Makan Tiga Bungkus Mi Instan Mentah