Suara.com - Kantong plastik bekas belanja biasanya hanya jadi sampah yang menumpuk di tempat pembuangan. Namun di tangan peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), limbah plastik itu bisa berubah fungsi menjadi bahan penyelamat hidup: sensor untuk mendeteksi logam beracun dalam air minum.
Riset ini dipimpin oleh Dr. Indriana Kartini dari Departemen Kimia, Fakultas MIPA UGM. Timnya berhasil mengubah kantong plastik berbahan polietilena menjadi carbon quantum dots (CQDs), nanomaterial berukuran lebih kecil dari virus yang bisa menyala di bawah sinar ultraviolet.
Nanomaterial inilah yang kemudian difungsikan sebagai sensor pencemar air.
Hasil penemuan ini dipublikasikan dalam jurnal Carbon Research pada 3 Juli 2025, dengan judul Recycling of plastic bag waste into carbon quantum dots using optimized pyrolysis-hydrothermal methods for selective Fe (III) sensing.
Setiap tahun, jutaan ton plastik sekali pakai berakhir di laut maupun tempat pembuangan akhir. Plastik jenis ini bisa bertahan hingga ratusan tahun tanpa terurai, sementara upaya daur ulang konvensional sulit mengejar laju produksinya.
Alih-alih sekadar menurunkan kualitas plastik menjadi produk lain, tim UGM memilih jalur upcycling: mengubah limbah jadi material bernilai tinggi.
Prosesnya cukup singkat: kantong plastik diproses melalui kombinasi pirolisis termodifikasi dan perlakuan hidrotermal, ditambah kurang dari 7 persen hidrogen peroksida.
Hanya dalam 10 jam, plastik berubah menjadi CQDs fungsional dengan efisiensi cahaya atau quantum yield mencapai 10,04 persen. Lebih penting lagi, material ini stabil saat terkena cahaya UV, garam tinggi, maupun penyimpanan jangka panjang.
Fungsi utama CQDs dari plastik ini adalah sebagai sensor logam berat, khususnya ion besi (Fe³). Uji coba menunjukkan material ini bisa mendeteksi konsentrasi besi sekecil 9,50 mikromol, dengan tingkat akurasi hampir sempurna (R² = 0.9983).
Baca Juga: Krisis Sampah Plastik Memburuk, Mengapa Dunia Masih Terbelah soal Solusinya?
Logam besi berlebih dalam air minum bisa menimbulkan masalah kesehatan, mulai dari rasa dan bau tidak sedap hingga risiko gangguan pencernaan. Dengan sensor ini, masyarakat dapat memeriksa kualitas air secara cepat, murah, dan praktis tanpa perlu laboratorium canggih
Penelitian ini dianggap sebagai terobosan ganda: mengatasi masalah limbah plastik sekaligus memberikan solusi atas keterbatasan akses air bersih.
Mengutip dari Interesting Engineering (24/9/2025), laporan World Health Organization (WHO) mencatat lebih dari 2 miliar orang di dunia masih kesulitan mengakses air minum aman.
Di sisi lain, Program Lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan sekitar 400 juta ton plastik diproduksi setiap tahun, dengan sepertiganya hanya dipakai sekali sebelum dibuang.
Penelitian ini memiliki implikasi yang sangat luas dan tidak hanya terbatas pada eksperimen di laboratorium. Ini merupakan contoh nyata dari ekonomi sirkular, di mana limbah tidak dibuang begitu saja melainkan diubah menjadi produk bernilai.
Proyek ini menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan dapat mengubah beban lingkungan menjadi aset teknologi dengan memanfaatkan kantong plastik sebagai alat sensor.
Selain itu, penelitian ini membuka peluang untuk menghadirkan solusi pemantauan kualitas lingkungan dengan biaya rendah, terutama di wilayah yang masih menghadapi persoalan pengelolaan sampah dan keterbatasan akses air bersih.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa