Dedi Mulyadi Izinkan Kelas 50 Siswa di Jabar, P2G: Kualitas Pendidikan Bisa Hancur!

Senin, 07 Juli 2025 | 10:20 WIB
Dedi Mulyadi Izinkan Kelas 50 Siswa di Jabar, P2G: Kualitas Pendidikan Bisa Hancur!
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. [Antara]

Suara.com - Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi guna mengatasi persoalan anak putus sekolah menuai kontroversial. Dedi baru saja menerbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor: 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah pada jenjang pendidikan menengah.

Dalam surat keputusan itu, Dedi memperbolehkan sekolah negeri tingkat SMA/SMK mengisi satu ruang kelas hingga maksimal 50 siswa.

Menanggapi hal itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kebijakan tersebut hanya solusi jangka pendek, sekaligus bertentangan dengan aturan.

Kebijakan itu juga berpotensi menciptakan persoalan baru yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan.

"Anak putus sekolah di Jawa Barat memang mengkhawatirkan, ada sekitar 658 ribu. Kami menilai, memasukan 50 murid SMA ke satu kelas justru solusi instan jangka pendek," kata Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri lewat keteranga tertulisnya yang dikutip Suara.com, Senin 7 Juli 2025.

Dia menjelaskan, penting untuk diketahui bahwa anak putus sekolah bukan hanya soal daya tampung sekolah yang terbatas, tapi terdapat sejumlah faktor lainnya. Terdapat faktor kemiskinan, pernikahan anak, menjadi pekerja anak hingga anak yang berkonflik dengan hukum.

Mengizinkan sekolah mengisi satu kelas dengan maksimal 50 siswa bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 tentang Juknis Pembentukan Rombongan Belajar bahwa siswa SMA/MA/SMK/MAK maksimal 36 anak.

"Kebijakan pencegahan anak putus sekolah harus berprinsip kesesuaian wewenang, ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, keterukuran dan ketepatan sasaran. Misal, melihat kondisi sekolah, ketersediaan guru, sarana prasarana, dan luas ruang kelas," jelas Iman.

Dengan memaksakan satu kelas diisi 50 siswa juga berdampak terhadap proses belajar mengajar yang merugikan siswa dan guru. Karena kapasitas kelas sudah didesain untuk menampung maksimal 36 siswa.

Baca Juga: Anggaran Sekolah Kedinasan Terlalu Jumbo, Sri Mulyani Diminta Adil

"Kelas jadi pengap, suara guru tidak terdengar apalagi jika siswa berisik, kelas tidak kondusif, ruang gerak anak dan guru tidak ada. Lalu interaksi murid di kelas sangat terbatas, sarana prasarana tidak mencukupi, dan guru tidak bisa mengontrol kelas," ujar Iman.

Sebagai solusi konkret, P2G mengusulkan agar anak putus sekolah dimasukkan ke madrasah negeri atau swasta. Selain itu juga bisa dimasukkan ke pendidikan formal atau sekolah rakyat.

Misalnya, kata Iman, anak putus sekolah karena faktor kemiskinan bisa dimasukkan ke sekolah rakyat yang dikelola Kementerian Sosial.

Dengan begitu terjadi kesinambungan antara program pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

P2G mengingatkan Dedi agar membuat kebijakan yang sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.

P2G menyayangkan jika antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat berjalan sendiri-sendiri, dan tumpang tindih. Padahal baik pemerintah daerah dan pusat memiliki tujuan mulia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI