UMKM Belum Siap dan Pemerintah Tak Tanggap, MEA Dianggap Ancaman

Senin, 13 April 2015 | 08:17 WIB
UMKM Belum Siap dan Pemerintah Tak Tanggap, MEA Dianggap Ancaman
Berbagai kerajinan khas Indonesia dipamerkan di pameran International Handicraft Trade Fair (Inacraft) 2015, di JCC. [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Penerapan kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 ini ternyata tidak sepenuhnya diterima sebagai sesuatu yang positif. Sebagaimana antara lain disampaikan oleh Ketua Umum Komunitas Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Yogyakarta, Prasetyo Atmosutidjo, kebijakan itu justru dirasa mengancam pengusaha dan pekerja UMKM di DIY.

"Kalau menurut saya, penerapan kebijakan MEA ini bisa mengancam pengusaha dan pekerja UMKM di Yogyakarta. Itu karena pemerintah daerah belum siap, (selain juga) sosialisasi sangat kurang," ungkap Prasetya.

Prasetya menambahkan, sebanyak 98 persen masyarakat Yogyakarta bekerja pada sektor UMKM, baik menjadi pekerja maupun pengusaha. Saat ini menurutnya, tercatat lebih dari 600.000 pengusaha UMKM, serta lebih dari 900.000 pekerja UMKM di daerah itu. Mereka dinilai terancam gulung tikar atau alih fungsi dari produsen menjadi penjual, jika Pemda DIY tak segera melakukan antisipasi kebijakan MEA.

Hal tersebut, menurut Prasetya lagi, dikarenakan saat kebijakan MEA diberlakukan secara menyeluruh, maka Yogyakarta akan dibanjiri produk dari negara-negara di ASEAN. Hal itu dikhawatirkan akan sangat sulit dikontrol, seperti saat maraknya barang-barang dari Cina sejak beberapa tahun lalu.

"Jelas akan jadi pukulan bagi pengusaha dan pekerja. Sekarang saja batik, lurik Malaysia, sudah mulai membanjiri Yogyakarta dan kota lainnya. Selain itu, makanan dan furnitur juga sudah mulai rame. Ini ancaman serius, karena UMKM terutama yang mikro dan kecil, belum siap. Salah satunya karena keterbatasan modal. Untuk lokal DIY saja susah, (apalagi) untuk dikirim ke luar kota, lebih susah saingannya," papar Prasetya.

Menurut Prasetya lagi, Pemda dalam hal ini harus lebih proaktif, sementara pemerintah pusat juga harusnya lebih tanggap. Di matanya, ada suatu kesalahan sistem yang tengah terjadi saat ini, di mana negara-negara ASEAN lain sudah siap menghadapi MEA, tapi Indonesia justru masih jalan di tempat.

Hal senada pun diungkapkan oleh Dr Hempri Suyatna, peneliti dan dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, Pemda DIY tergolong masih terlalu lamban dalam hal ini. Sementara itu menurutnya, faktor mental dari para pengusaha serta pekerja UMKM di DIY juga masih menjadi kendala.

"Selain Pemda lamban, pelaku UMKM di DIY daya saingnya juga lemah. Sebagian besar UMKM ingin dananya segera kembali atau muter. Sebagian besar juga masih tergantung distributor, sehingga daya tawar ke distributor rendah. Selain itu, mental yang beranggapan gak perlu untung besar yang penting cukup untuk makan, ini juga menjadi masalah," jelas Hempri. [Wita Ayodhyaputri]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI