Suara.com - Di tengah tekanan ekonomi global dan perlambatan ekonomi domestik, peran industri hasil tembakau (IHT) sebagai penopang perekonomian nasional kembali menjadi sorotan.
Industri ini bukan hanya penyumbang terbesar bagi penerimaan negara dari sektor cukai, tetapi juga menjadi tumpuan hidup bagi jutaan tenaga kerja di Indonesia. Karena itu, kebijakan fiskal yang menyangkut sektor ini dinilai perlu dirancang secara hati-hati dan presisi.
Anggota Komisi XI DPR RI, Harris Turino, menegaskan pentingnya posisi IHT dalam struktur fiskal negara. Ia menyebut, kontribusi dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) sangat dominan terhadap penerimaan negara.
"IHT adalah industri strategis di Indonesia yang sangat penting bagi penerimaan negara. Kontribusi Cukai Hasil Tembakau (CHT) besarnya Rp 216,9 triliun di tahun 2024. Kalau dilihat dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), 96 persen dari total pendapatan cukai adalah dari CHT," ujarnya seperti dikutip, Kamis (19/6/2025).
![Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) TMP B Bandar Lampung menyita 3,69 juta batang rokok ilegal dari sejumlah kegiatan dalam periode Januari hingga Februari 2025. [ANTARA]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/13/87247-rokok-ilegal.jpg)
Harris menilai, ruang kesalahan dalam merancang kebijakan fiskal terhadap sektor ini sangat sempit. Dengan target penerimaan negara yang terus meningkat, perlindungan terhadap industri strategis seperti IHT menjadi mutlak diperlukan.
"Di tengah naiknya target penerimaan termasuk target penerimaan cukai, room for error untuk kebijakan pendapatan negara itu sangat kecil sehingga industri strategis harus dilindungi," ujarnya.
Selain berkontribusi terhadap fiskal, IHT juga berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Dalam situasi ekonomi nasional yang sedang melambat, yang ditunjukkan oleh penurunan indeks manufaktur (PMI), kebijakan yang terlalu menekan IHT dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif, terutama terhadap penyerapan tenaga kerja.
"Memang industri rokok beserta industri turunannya bukan hanya menjadi sumber pendapatan negara yang sangat krusial, tetapi sekaligus menjadi tempat bagi jutaan karyawan yang menggantungkan hidup keluarganya," jelas Harris.
Tak hanya itu, Harris juga menyoroti persoalan yang muncul akibat tingginya tarif cukai, yakni meningkatnya peredaran rokok ilegal. Ia mengungkapkan bahwa kenaikan harga akibat mahalnya pita cukai membuat konsumen cenderung beralih ke produk ilegal yang tidak memberikan kontribusi apapun kepada negara.
Baca Juga: Pemerintah Ngotot Terapkan Kemasan Rokok Polos, Ini Respon Produsen
"Disparitas harga akibat mahalnya pita cukai menjadi penyebabnya. Data resmi menunjukkan jumlah rokok ilegal sekitar 6,9 persen di 2023, walaupun fakta di lapangan jauh lebih besar. Jelas rokok ilegal ini mematikan industri rokok legal yang taat azas, taat aturan, dan menghasilkan penerimaan negara yang sangat besar. Sementara pabrikan rokok ilegal adalah pelaku curang yang hanya menguntungkan segelintir orang dan oknum tertentu," kata dia.
Pada tahun 2025, pemerintah menargetkan penerimaan dari CHT sebesar Rp 230,09 triliun dari total target penerimaan cukai Rp244,2 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Harris menekankan, perlindungan terhadap industri legal sangat penting untuk memastikan keberlanjutan sektor ini, menjaga stabilitas lapangan kerja, serta melawan maraknya peredaran rokok ilegal.
Sebelumnya,
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, menyampaikan bahwa moratorium CHT sangat krusial demi menyelamatkan industri padat karya yang memiliki rantai pasok panjang dan kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja.
"Tidak adanya kenaikan CHT selama tiga tahun ke depan penting dilakukan untuk menyelamatkan industri padat karya sebagai industri strategis dengan mata rantai yang panjang," ujarnya di Jakarta.