Biasanya, porsi aset saham terhadap total investasi dana pensiun mencapai sekitar 12%. Saat ini, porsi aset saham turun menjadi sekitar 8% dari total investasi dapen. Artinya, ada penurunan nilai investasi sekitar 4%.
Itu sebabnya, Bambang memperkirakan, ada beberapa dapen yang mengalami penurunan RKD. Begitu pula, jumlah dapen yang memiliki RKD di atas 100% diperkirakan berkurang.
Memang, tidak semua dapen akan mengalami penurunan RKD. Sebab, ada dapen yang mengantisipasi penurunan nilai aset dengan memegang surat berharga hingga jatuh tempo sehingga tidak terjadi selisih investasi yang akan mempengaruhi RKD.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2018 lalu, dari total dana pensiun pemberi kerja yang menjalankan program pensiun manfaat pasti atau DPPK-PPMP, jumlah dapen yang memiliki RKD di atas 100% hanya sebanyak 65 dapen atau 39,63%.
Sementara sisanya memiliki RKD di bawah 100%. Perinciannya, sebanyak 47,56% dari total DPPK-PPMP memiliki RKD di atas 75% hingga 100%, sebanyak 9,76% memiliki RKD lebih dari 50% hingga 75%, sementara 3,05% dari total DPPK-PPMK memiliki RKD kurang dari 50%.
Menurut Bambang, ada beberapa faktor yang menyebabkan dapen memiliki RKD di bawah 100%. Pertama, kenaikan gaji karyawan yang tidak diikuti dengan kenaikan iuran dari pemberi kerja.
Bambang mengatakan, kenaikan gaji karyawan akan mempengaruhi penghasilan dasar pensiun (PhDP). Saat PhDP naik, pemberi kerja semestinya juga menaikkan iuran.
"Jika tidak dilakukan akan menggerus RKD karena rasio kebutuhan likuiditas berdasarkan aktuarial naik tapi iuran dari pemberi kerja tidak bertambah," kata Bambang.
Kedua, iuran yang masuk ke dapen dari pemberi kerja kurang tepat. Jika iuran tidak tepat, pengurus dapen tidak bisa segera menginvestasikan iuran tersebut.
Baca Juga: Sudah Pensiun, Dokter Paru di Aceh Meninggal Positif Covid-19
Ketiga, penggunaan asumsi bunga teknis atau bunga aktuaria yang tinggi. Menurut Bambang, ada pendiri dapen yang memang mematok tingkat bunga teknis yang tinggi. Tujuannya, untuk memperkecil kontribusi yang harus disisihkan oleh pendiri.
Karena asumsi tingkat bunga aktuaria yang digunakan tinggi, pengurus dapen harus lebih agresif dengan menempatkan investasi pada instrumen berisiko tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kewajiban atas pemenuhan manfaat peserta.
Masalah muncul jika pencapaian hasil usaha berada di bawah bunga teknis. Jika pengurus dapen tidak bisa mendapatkan tingkat hasil investasi sesuai dengan tingkat bunga teknis, maka rasio kecukupan dana akan tergerus.
Lalu, apa dampaknya jika RKD kurang dari 100%? Jika RKD di bawah 100%, pendiri dapen wajib melakukan pembayaran sejumlah dana tambahan guna mencapai keadaan dana terpenuhi.
"Intinya, pendiri harus melakukan top up dana ke dapen jika RKD kurang dari 100%," kata Bambang.
Sepanjang pendiri dapen berkomitmen dan sanggup untuk memenuhi rasio kecukupan dana, sebetulnya tidak ada persoalan.