Pabrik tidak akan bisa melakukan aktivitas karena angkutan logistik yang membawa bahan baku produksi kesulitan atau bahkan tidak bisa melintas. Kalau sudah begitu, lanjutnya, kerugian yang dirasakan tidak hanya pada sektor ekspor-impor tapi menjalar ke industri lainnya.
"Jadi, kerugiannya panjang, sementara karyawan tetap harus dibayar. Nanti ada kontrak-kontrak supplier dengan distributor tidak bisa dipenuhi. Jadi, efeknya bukan hanya di industri saja tapi ke para supplier dan distributor yang memang betul ada kerjasama dengan industri itu," tukasnya.
Dia mengungkapkan, khusus untuk industri ekspor impor saja bisa mengalami kerugian lebih dari ratusan juta rupiah. Itu baru dihitung dari kontainer yang tertahan di pelabuhan dan belum ditambah dengan kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Sementara, Pakar Transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno, mengutarakan sejak dibuatnya Undang-Undang Jalan pada tahun 2004 lalu, jalan itu baik jalan nasional dan jalan tol digunakan untuk angkutan barang atau logistik dan bukan untuk mobil pribadi. Peraturan tersebut masih berlaku hingga kini dan belum ada perubahan penggunaan jalan itu menjadi untuk mobil pribadi.
Yang sebenarnya, kalau yang sesuai peraturannya, kata Suripno, tidak apa-apa angkutan mobil pribadi itu macet pada saat hari-hari libur atau hari besar asalkan angkutan barangnya lancar. Jadi, tidak malah terbalik seperti yang terjadi saat ini, di mana kepentingan mobil pribadi itu lebih diutamakan dari angkutan barang.
“Padahal, kalau mobil pribadi macet, mereka kan punya pikiran untuk bisa mengatur dirinya sendiri. Tetapi kalau angkutan barang yang macet, pemerintah yang harus mengatur supaya tidak macet karena sangat terkait dengan perekonomian negara kita,” ujar mantan Direktur Keselamatan Transportasi Kementerian Perhubungan ini.
Kata Suripo, kalau mau dan tidak melanggar Undang-Undang, pemerintah seharusnya berpikir untuk membuatkan jalur lain untuk angkutan umum dan mobil pribadi pada saat-saat libur besar sehingga tidak mengganggu angkutan logistilnya.
“Karena, jalan-jalan untuk angkutan logistik itu sudah dicanangkan jauh sebelumnya. Jadi, kalau orang mau bepergian dengan mobil pribadi saat hari-hari libur besar silahkan diatur sendiri waktunya agar tidak mengalami macet,” kata Suripno.
Dia malah mempertanyakan pernah tidaknya pemerintah menghitung kerugian ekonomi yang disebabkan pemberlakukan larangan angkutan logistik pada saat libur besar.
“Pernah dihitung nggak kerugian ekonomi yang diakibatkan pelarangan angkutan logistik di masa-masa libur besar itu hanya karena ingin pencitraan semata dengan mengutamakan mobil-mobil pribadi yang bisa menggunakan jalan saat itu,” tukasnya.
Karena, menurut Suripno, kalau distribusi jebol maka ekonomi jebol. Kalau menunggu jebol, lanjutnya, maka produk Indonesia di luar negeri pun jadi tidak laku.
“Oleh karena itu, prioritas pemerintah akan memutuskan mana yang terbaik untuk rakyat, terbaik untuk perekonomian rakyat. Artinya, membiarkan pengguna kendaraan pribadi rugi atau membiarkan logistik rugi. Mana yang paling prioritas?” katanya mempertanyakan terkait kebijakan pelarangan angkutan logistis pada saat libur besar.
Dia menegaskan bahwa yang seharusnya diutamakan itu sesuai Undang-Undang Jalan adalah kelancaran angkutan barang atau logistik.
“Kan harusnya yang logistik yang harus diutamakan. Kalau kendaraan pribadi tiga hari di jalan itu tidak apa-apa. Tapi, kalau angkutan logistik itu macet berhari-hari di jalan apalagi kalau sampai dilarang yang sebenarnya itu menjadi haknya, itu akan sangat merugikan kita secara ekonomi,” ucapnya.
Yang harus dilakukan pemerintah pada saat libur besar itu sesuai Undang-Undang Jalan itu seharusnya menyarankan kendaraan pribadi untuk mengatur jadwal mudik mereka agar tidak menyebabkan kemacetan di jalan.